Minggu, 29 November 2009

Pokok -- Pokok Kajian Tentang Supervisi Pendidikan

1. PENDAHULUAN

Setiap aktivitas besar ataupun kecil, yang tercapainya tergantung kepada beberapa orang. Diperlukan adanya organisasi didalam segala gerak langkah untuk mengkoordinasikan semua gerak langkah tersebut, pimpinan sekolah harus berusaha mengetahui keseluruhan situasi disekolahnya dalam segala bidang. Usaha pimpinan dab guru-guru untuk mengetahui situasi lingkungan sekolah dalam segala kegiatannya, di sebut supervise atau pengawasan sekolah.
Istilah supervisi ini kiranya belum begitu lazim dipergunakan dalam lingkungan persekolahan dan kepegawaian kita disaat-saat sekarang. Tetapi makin lama makin dikenal dan makin banyak dipergunakan orang. Namun demikian mengenai arti, fungsi, dan tujuan yang terkandung didalamnya, masih merupakan tanda tanya, apakah sudah benar-benar dipahami oleh orang yang mempergunakan istilah itu.
Dalam bukunya " Role Of Supervisor And Curiculum Directors In A Climate Of Change ". Ceeper menyimpulkan beberapa hal yang memberi gambaran tentang latar belakang perlunya supervise antara lain. (12 : 12 ) :
1. Bahwa dalam perubahan social dewasa ini perlu diperhatikan dimensi baru, yaitu perlu perubahan teknologi ruang angkasa.
2. Berkembangnya science dan teknologi yang semakin cepat.
3. Adanya urbanisasi yang semakin meningkat, menyebabkan masalah baru dalam pendidikan.
4. Adanya tuntutan hak-hak asasi manusia yang juga menyebabkan problema bagi para pendidik yang memerlukan pemecahan secara rasional.
5. Akibatnya pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran menyebabkan adanya :
- Daerah-daerah miskin dan kaya
- Adanya banyak waktu terbuang
- Kecenderungan muda-mudi memerlukan pendidikan umum dan kejuruan untuk dapat bekerja/mencari pekerjaan dalam masyarakat.
6. Suburnya birokrasi dapat menghambat kelancaran dalam bidang pendidikan.
Setiap pelaksanaan program pendidikan memerlukan adanya pengawasan atau supervise. Pengawasan bertanggung jawab tentang keefektifan program itu. Oleh karena itu, supervise haruslah meneliti ada atau tidaknya kondisi-kondisi yang akan memungkinkan tercapainya tujuan-tujuan pendidikan.
Dalam mewujudkan keberhasilan pendidikan di sekolah dan usaha professional, kelanjutan kunjungan pengontrolan (supervisi) oleh pengawas utama hendaknya dilaksanakan secara teratur dan berkesinambungan.

2. PENGERTIAN SUPERVISI

Dalam dunia pendidikan kita selalu melihat ada supervise didalamnya, sebagaimana telah diketahui bahwa tidak ada dua orang yang sama, apalagi lebih dari dua orang. Maka dapat dimaklumi bahwa rumusan tentang apa yang dimaksud dengan supervise berbeda-beda.
Menurut P. Adam dan Frank G. Dickey, supervisi adalah suatu program yang berencana untuk memperbaiki pengajaran ( supervision is a planed, program for the improvement of instruction ).
Dalam Dictionary of Education, Good Carter memberikan definisi sebagai berikut: Supervisi adalah segala usaha dari petugas-petugas sekolah dalam memimpin guru-guru dan petugas pendidikan lainnya dalam memperbaiki pengajaran, termasuk memperkembangkan pertumbuhan guru-guru, menyelesaikan dan merevisi tujuan pendidikan, bahan-bahan pengajaran dan metode mengajar dan penilaian pengajaran.
Menurut Boardaman, supervise adalah suatu usaha menstimulir, mengkoordinir dan membimbing secara kontinu pertumbuhan guru-guru sekolah, baik secara individual maupun secara kolektif, agar lebih mengerti dan lebih efektif dalam mewujudkan seluruh fungsi pengajaran, sehingga dengan demikian mereka mampu dan lebih cakap berpartisipasi dalam masyarakat demokrasi modern.
Mc. Nerney meninjau supervise sebagai suatu proses penilaian mengatakan: supervise adalah prosedur memberi arah serta mengadakan penilaian secara kritis terhadap proses pengajaran.
Dalam pelaksanaannya, supervise bukan hanya mengawasi apakah para guru atau pegawai menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya sesuai dengna intruksi atau ketentuan –ketentuanyang telah digariskan, tetapi juga berusaha bersama guru-guru, bagaimana cara-cara memperbaiki proses belajar mengajar. Jadi, dalam kegiatan supervise, guru-guru tidak dianggap sebagai pelaksana pasif, melainkan diperlakukan sebagai partner bekerjayang memiliki ide-ide, pendapat-pendapat, pengalaman-pengalaman yang perlu didengar dan dihargai serta diikutsertakan di dalam usaha-usaha perbaikan pendidikan.
Sesuai apa yang dikatan Burton dalam bukunya, " Supervision a social Process ", maka Dia dapat merumuskan supervisi sebagai berikut:
1) Supervisi yang baik mengarahkan perhatiannya kepada dasar-dasar pendidikan dan cara-cara belajar serta perkembangannya dalam pencapaian tujuan umum pendidikan.
2) Tujuan supervise adalah perbaikan dan perkembangan proses belajar mengajar secara total.
3) Fokusnya pada setting for learning, bukan pada seseorang atau sekelompok orang. Yang sama-sama bertujuan untuk mengembangkan situasi yang memungkinkan terciptanya kegiatan belajar-mengajar yang baik.
Sesuai dengan rumusan di atas, maka kegiatan atau usaha-usaha yang dapat dilakukan dalam rangka pelaksanaan supervise dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Membangkitkan dan merangsang semangat guru-guru dan pegawai sekolah lainnya dalam menjalankan tugasnya masing-masing dengan sebaik-baiknya.
b. Berusaha mengadakan dan melengkapi alat-alat perlengkapan termasuk macam-macam media instruksional yang diperlukan bagi kelancaran jalannya proses belajar mengajar yang baik.
c. Bersama-sama guru-guru, berusaha mngembangkan, mencari dan menggunakan metode-metode dalam proses belajar mengajar yang lebih baik.
d. Membina kerja sama yang baik dan harmonis antara guru, murid, dan pegawai sekolah lainnya.
e. Berusaha mempertinggi mutu dan pengetahuan guru-guru dan pegawai sekolah, antara lain dengan mengadakan workshop, seminar, dll.

3. TUJUAN DAN FUNGSI SUPERVISI

Tujuan supervise adalah memperkembangkan situasi belajara dan mengajar yang lebih baik. Usaha kearah perbaikan belajar dan mengajar ditujukan kepada pencapaian tujuan akhir dari pendidikan yaitu pembentukan pribadi anak secara maksimal.
Secara operasional dapat dikemukakan beberpa tujuan konkrit dari supervise pendidikan antara lain:
a. Membantu guru melihat dengan jelas tujuan-tujuan pendidikan
b. Membantu guru dalam membimbing pengalaman belajar siswa
c. Membantu guru dalam memenuhi kebutuhan belajar siswa
d. Membantu guru dalam hal menilai kemajuan siswa dan hasil pekerjaan guru itu sendiri.
e. Membantu guru dalam membina reaksi mental atau moral kerja guru dalam rangka pertumbuhan pribadi dan jabatan mereka.
Adapun fungsi supervisi dapat dibedakan menjadi dua bagian ynag besar yaitu :
1. Fungsi utama ialah membantu sekolah yang sekaligus mewakili pemerintah dalam usaha mencapai tujuan pendidikan yaitu membantu perkembangan individu para siswa.
2. Fungsi tambahan ialah membantu sekolah dalam membina guru–guru agar dapat bekerja dengan baik dan dalam mengadakan kontak dengan masyarakat dalam rangka menyesuaikan diri dengan tuntutan masyaarakat serta mempelopori kemajuan masyarakat.
Swearingen memberi 8 fungsi:
1. Mengkoordinasi semua usaha sekolah
2. Memperlengkapi kepemimpinan sekolah
3. Memperluas pengalaman guru-guru
4. Mestimulasi usaha-usaha yang kreatif
5. Memberikan fasilitas dan penilaian yang terus menerus
6. Menganalisa situasi belajar dan mengajar
7. Memberikan pengetahuan dan skiil kepada setiap anggota staf
8. Mengintegrasikan tujuan pendidikan dan membantu meningkatkan kemampuan mengajar guru-guru.
Adapun menurut Ngalim Purwanto, fungsi-fingsi supervisi pendidikan yang sangat penting di ketahui oleh para pimpinan pendidikan termasuk kepala sekolah, adalah sebagai berikut:
1) Dalam Bidang Kepemimpinan
a. Mengikutsertakan anggota-anggota kelompok dalam berbagai kegiatan
b. Memberikan bantuan kepada anggota kelompok dalam menghadapi dan memecahkan persoalan-persoalan.
c. Mengikutsertakan semua anggota dalam menetapkan keputusan-keputusan.
d. Mempertinggi daya kreatif pada anggota kelompok.
2) Dalam Hubungan Kemanusiaan
a. Membantu mengatasi kekurangan ataupun kesulitan yang dihadapi anggota kelompok.
b. Mengarahkan anggota kelompok kepada sikap-sikap yang demokratis.
c. Memupuk rasa saling menghormati di antara sesama anggota kelompok dan sesama manusia.
3) Dalam Pembinaan Proses Kelompok
a. Mengenal masing-masing pribadi anggota kelompok, baik kelemahan maupun kemampuan masing-masing.
b. Menimbulkan dan memelihara sikap saling mempercayai anatara sesama anggota maupun antara anggota dan pimpinan.
c. Memperbesar rasa tanggung jawab para anggota kelompok.
d. Bertindak bijaksana dalam menyelesaikan pertentangan atau perselisihan pendapat di antara anggota kelompok.
4) Dalam Bidang Administrasi Personil
a. Memilih personil yang memiliki syarat-syarat dan kecakapan yang diperlukan untuk suatu pekerjaan.
b. Menempatkan personil pada tempat dan tugas yang sesuai dengan kecakapan dan kemampuan masing-masing.
c. Mengusahakan susunan kerja yang menyenangkan dan meningkatkan daya kerja serta hasil maksimal.
5) Dalam Bidang Evaluasi
a. Menguasai dan memahami tujuan-tujuan pendidikan secara khusus dan terinci.
b. Menguasai dan memilki norma-norma atau ukuran-ukuran yang akan digunakan sebagai kriterian penilaian.
c. Menguasai teknik-teknik pengumpulan data untuk memperoleh data yang lenkap, benar, dan dapat diolah menurut norma-norma yang ada.
d. Menafsirkan dan menyimpulkan hasil-hasil penilaian sehingga mendapat gambaran tentang kemungkinan-kemungkinan untuk mengadakan perbaikan-perbaikan.

4. SYARAT-SYARAT SUPERVISOR

Sebagai seorang supervisor, yang harus melaksanakan tugas tanggungjawabnya hendaknya mempunyai persyaratan-persyaratan idiil. Dilihat dari segi kepribadiannya (personality) syarat-syarat tersebut adalah sebagi berikut:
1. Ia harus mempunyai perikemanusiaan dan solidaritas yang tinggi, dapat menilai orang lain secara teliti dari segi kemanusiaannya serta dapat bergaul dengan baik.
2. Ia harus dapat memelihara dan menghargai dengan sungguh-sungguh semua kepercayaan yang diberikan oleh orang-orang yang berhubungan dengannya.
3. Ia harus berjiwa optimis yang berusaha mencari yang baik, mengharapkan yang baik dan melihat segi-segi yang baik.
4. Hendaknya bersifat adil dan jujur, sehingga tidak dapat dipengaruhi oleh penyimpangan-penyimpangan manusia.
5. Hendaknya ia cukup tegas dan objektif (tidak memihak), sehingga guru-guru yang lemah dalam stafnya tidak "hilang dalam bayangan" orang-orang yang kuat pribadnya.
6. Ia harus berjiwa terbuka dan luas, sehingga lekas dan mudah dapat memberikan pengakuan dan penghargaan terhadap prestasi yang baik.
7. Jiwanya yang terbuka tidak boleh menimbulkan prasangka terhadap seseorang untuk selama-lamanya hanya karena sesuatu kesalahan saja.
8. Ia hendaknya sedemikian jujur, terbuka dan penuh tanggung jawab.
9. Ia harus cukup taktik, sehingga kritiknya tidak menyinggung perasaan orang lain.
10. Sikapnya yang bersimpati terhadap guru-gurunya tidak akan menimbulkan depresi dan putus asa pada anggota-anggota stafnya.

5. TUGAS-TUGAS SUPERVISOR

Sehubungan dengan fungsi-fungsi supervise yang telah dibahas di atas, maka pemakala mengemukakan 10 macam tugas supervise pendidikan dari 26 macam supervisi yang telah dikemukakan oleh Ngalim Purwanto.
1. Menghadiri rapat atau pertemuan organisasi-organisasi profesional.
2. Mendiskusikan tujuan-tujuan dan filsafat pendidikan dengan guru-guru.
3. Melakukan classroom visitation atau class visit
4. Mengadakan rapat-rapat kelompok untuk membicarakan masalah-masalah umum.
5. Mengadakan pertemuan-pertemuan individual dengan guru-guru tentang masalah-masalah yang mereka usulkan.
6. Mnediskusikan metode-metode mengajar dengan guru-guru.
7. Memilih dan menilai buku-buku yang diperlukan bagi murid-murid.
8. Membimbing guru-guru dalam menyusun dan mengembangkan sumber-sumber atau unit-unit pengajaran.
9. Memberikan saran-saran atau instruksi tentang bagaimana melaksanakan statu unit pengajaran.
10. Mengorganisasi dan bekerja dengan kelompok guru-guru dalam program revisi kurikulum.

6. TEKNIK-TEKNIK SUPERVISI

Banyak ahli menyebut tehnik-tehnik supervise pendidikan secara agak berbeda berdasarkan titik tolak pandang yang dianutnya. Chart berikut mencoba membeberkan beberapa tehnik yang dikemukakan para penulis ada persamaan dan perbedaannya. Adapun tehnik-tehnik supervisi pendidikan sebagai berikut:
A. Tehnik Yang Bersifat Individual
Tehnik yang bersifat individual antara lain:
1. Perkunjungan Kelas ( Classroom Visitation )
a. Pengertian.
Yaitu seorang pembina atau kepala sekolah datang ke kelas dimana guru sedang mengajar. Ia mengadakan peninjauan terhadap suasana belajar dikelas itu.
b. Tujuan
Ialah menolong guru-guru dalam hal pemecahan kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi. Dalam perkunjungan kelas yang diutamakan ialah memepelajari sifat dan kualitas cara belajar anak dan bagaimana guru membimbing siswa.
c. Fungsi
Sebagai alat untuk memajukan cara mengajar dan cara belajar dan mengajar yang baru. Perkunjungan juga membantu pertumbuhan profesional baik guru maupun supervisor karena memberi kesempatan untuk meneliti prinsip dan hal belajar mengajar.
d. Jenis
1) Perkunjungan tanpa diberitahukan sebelumnya
2) Perkunjungan dengan memberitahukan
3) Perkunjungan atas dasar undangan guru
2. Observasi Kelas
Dalam melaksanakan perkunjungan supervisor mengadakan observasi, maksudnya meneliti suasana kelas selama pelajaran berlangsung.
a. Jenis Observasi Kelas
- Observasi langsung, yaitu seorang guru yang sedang mengajar diobservasi langsung oleh supervisor. Ia berada diantara dan bersama-sama dalam kelas
- Observasi tidak langsung, yaitu orang yang mengobservasi dibatasi oleh ruang kaca dimana siswa tidak mengetahuinya.
b. Tujuan Observasi Kelas
Untuk memperoleh data yang seobjektif mungkin sehingga bahan yang diperoleh dapat digunakan untuk menganalisa kesulitan-kesuliatan yang dihadapi guru-guru dalam usaha memperbaiki hal belajar mengajar.
B. Tehnik Yang Bersifat Kelompok
Yang dimaksud dengan teknik-teknik yang bersifat kelompok ialah teknik-teknik yang digunakan itu dilaksanakan bersama-samaoleh supervisor dengan sejumlah guru dalam satu kelompok. Teknik-teknik itu antara lain :
1. Rapat Guru
Rapat guru merupakan salah satu teknik supervisi untuk memperbaiki situasi belajar dan mengajar.
Macam-macam rapat guru antara lain :
a. Menurut Tingkatannya
1) Staff – Meeting Yaitu rapat guru-guru dalam satu sekolah yang dihadiri oleh seluruh atau sebagian guru di sekolah tersebut.
2) Rapat guru-guru bersama dengan orang tua murid dan murid-murid/ wakil-wakilnya.
3) Rapat guru es-kota, se-wilayah, se-rayon, dari sekolah yang sejenis dan setingkat.
4) Rapat guru-guru dari beberapa sekolah yang bertetangga.
5) Rapat kepala-kepala sekolah.
b. Menurut Waktunya
1) Rapat permulaan dan akhir tahun
2) Rapat periodik
3) Rapat-rapat yang bersifat insidental
c. Tujuan-tujuan Umum Rapat Guru
1) Menyatukan pandangan-pandangan guru tentang konsep umum, makna pendidikan dan fungsi sekolah dalam pencapaian tujuan pendidikan itu dimana mereka bertanggung jawab bersama-sama.
2) Mendorong guru untuk menerima dan melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik dan mendorong pertumbuhan mereka.
3) Menyatukan pendapat tentang metode kerja yang akan membawa mereka bersama ke arah pencapaian tujuan pengajaran yang maksimal di sekolah tersebut.
2. Studi Kelompok Antar Guru
Guru-guru dalam mata pelajaran sejenis berkumpul bersama untuk mempelajari suatu masalah atau sejumlah pelajaran. Pokok bahasan telah ditentukan dan diperinci dalam garis-garis besar atau dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan pokok yang telah disusun secara teratur. Untuk mempelajari bahan-bahan dapat dipergunakan bermacam-macam teknik berkomunikasi. Misalnya seorang yang mengemukakan sesuatu masalah dan dibahas bersama. Sebaiknya bahan-bahan itu telah dipelajari lebih dahulu. Untuk dapat memperkaya pembahasan diperlukan cukup banyak sumber-sumber buku.

7. KESIMPULAN

Supervisi adalah bantuan dalam pengembangan situasi belajar mengajar agar memperoleh kondisi yang lebih baik. Meskipun tujuan akhirnya tertuju pada hasil belajar siswa, namun yang diutamakan dalam supervisi adalah bantuan kepada guru.
Supervisi pendidikan berfungsi untuk memperoleh gambaran yang jelas dan objektif tentang suatu situasi pendidikan, Penilaian (evaluation) ? lebih menekankan pada aspek daripada negative, Perbaikan (improvement) ? dapat mengatahui bagaimana situasi pendidikan/pengajaran pada umumnya dan situasi belajar mengajarnya., Pembinaan ? berupa bimbingan (guidance) kea rah pembinaan diri yang disupervisi
Tujuan akhir dari supervisi pendidikan adalah meningkatkan professional guru dan karyawan sekolah guna menunjang akuntabilitas siswa dalam belajar, sehingga siswa benar-benar menjadi manusia yang berilmu, berbudi dan kreatif dalam segala hal sesuai dengan amanah UUD 45.

Sumber: http://one.indoskripsi.com/node/10016

Peran Guru kelas Dalam Bimbingan dan Konseling Di Sekolah Dasar

1. Latar Belakang Masalah

Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional no. 20 tahun 2003 pasal 3 dinyatakan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Mahaesa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Sejalan dengan tujuan pendidikan nasional maka dirumuskan tujuan pendidikan dasar yakni memberi bekal kemampuan dasar kepada siswa untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga negara dan anggota umat manusia serta mempersiapkan siswa untuk mengikuti pendidikan menengah (pasal 3 PP nomor 28 tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar).

Pendidikan dasar merupakan pondasi untuk pendidikan selanjutnya dan pendidikan nasional. Untuk itu aset suatu bangsa tidak hanya terletak pada sumber daya alam yang melimpah, tetapi terletak pada sumber daya alam yang berkualitas. Sumber daya alam yang berkualitas adalah sumber daya manusia, maka diperlukan peningkatan sumber daya manusia Indonesia sebagai kekayaan negara yang kekal dan sebagai investasi untuk mencapai kemajuan bangsa.

Bimbingan konseling adalah salah satu komponen yang penting dalam proses pendidikan sebagai suatu system. Proses pendidikan adalah proses interaksi antara masukan alat dan masukan mentah. Masukan mentah adalah peserta didik, sedangkankan masukan alat adalah tujuan pendidikan, kerangka, tujuan dan materi kurikulum, fasilitas dan media pendidikan, system administrasi dan supervisi pendidikan, sistem penyampaian, tenaga pengajar, sistem evaluasi serta bimbingan konseling.
Bimbingan merupakan bantuan kepada individu dalam menghadapi persoalan-persoalan yang dapat timbul dalam hidupnya. Bantuan semacam itu sangat tepat jika diberikan di sekolah, supaya setiap siswa lebih berkembang ke arah yang semaksimal mungkin. Dengan demikian bimbingan menjadi bidang layanan khusus dalam keseluruhan kegiatan pendidikan sekolah yang ditangani oleh tenaga-tenaga ahli dalam bidang tersebut.

Di Sekolah Dasar, kegiatan Bimbingan Konseling tidak diberikan oleh Guru Pembimbing secara khusus seperti di jenjang pendidikan SMP dan SMA. Guru kelas harus menjalankan tugasnya secara menyeluruh, baik tugas menyampaikan semua materi pelajaran (kecuali Agama dan Penjaskes) dan memberikan layanan bimbingan konseling kepada semua siswa tanpa terkecuali.

Dalam konteks pemberian layanan bimbingan konseling, Prayitno (1997:35-36) mengatakan bahwa pemberian layanan bimbingan konseling meliputi layanan orientasi, informasi, penempatan dan penyaluran, pembelajaran, konseling perorangan, bimbingan kelompok, dan konseling kelompok.

Guru Sekolah Dasar harus melaksanakan ketujuh layanan bimbingan konseling tersebut agar setiap permasalahan yang dihadapi siswa dapat diantisipasi sedini mungkin sehingga tidak menggangu jalannya proses pembelajaran. Dengan demikian siswa dapat mencapai prestasi belajar secara optimal tanpa mengalami hambatan dan permasalahan pembelajaran yang cukup berarti.

Realitas di lapangan, khususnya di Sekolah Dasar menunjukkan bahwa peran guru kelas dalam pelaksanaan bimbingan konseling belum dapat dilakukan secara optimal mengingat tugas dan tanggung jawab guru kelas yang sarat akan beban sehingga tugas memberikan layanan bimbingan konseling kurang membawa dampak positif bagi peningkatan prestasi belajar siswa.

Selain melaksanakan tugas pokoknya menyampaikan semua mata pelajaran, guru SD juga dibebani seperangkat administrasi yang harus dikerjakan sehingga tugas memberikan layanan bimbingan konseling belum dapat dilakukan secara maksimal. Walaupun sudah memberikan layanan bimbingan konseling sesuai dengan kesempatan dan kemampuan, namun agaknya data pendukung yang berupa administrasi bimbingan konseling juga belum dikerjakan secara tertib sehingga terkesan pemberian layanan bimbingan konseling di SD "asal jalan".

Dalam Pedoman Kurikulum Berbasis Kompetensi bidang Bimbingan Konseling tersirat bahwa suatu sistem layanan bimbingan dan konseling berbasis kompetensi tidak mungkin akan tercipta dan tercapai dengan baik apabila tidak memiliki sistem pengelolaan yang bermutu. Artinya, hal itu perlu dilakukan secara jelas, sistematis, dan terarah. Untuk itu diperlukan guru pembimbing yang profesional dalam mengelola kegiatan Bimbingan Konseling berbasis kompetensi di sekolah dasar.

Berdasar latar belakang tersebut di atas, penulis tergerak untuk melakukan telaah mengenai peran guru kelas dalam pelaksanaan Bimbingan Konseling di Sekolah Dasar.




2. Hakikat Bimbingan dan Konsling di SD

M. Surya (1988:12) berpendapat bahwa bimbingan adalah suatu proses pemberian atau layanan bantuan yang terus menerus dan sistematis dari pembimbing kepada yang dibimbing agar tercapai perkembangan yang optimal dan penyesuaian diri dengan lingkungan.

Bimbingan ialah penolong individu agar dapat mengenal dirinya dan supaya individu itu dapat mengenal serta dapat memecahkan masalah-masalah yang dihadapi di dalam kehidupannya (Oemar Hamalik, 2000:193).

Bimbingan adalah suatu proses yang terus-menerus untuk membantu perkembangan individu dalam rangka mengembangkan kemampuannya secara maksimal untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya, baik bagi dirinya maupun bagi masyarakat.

Dari beberapa pendapat di atas dapat ditarik sebuah inti sari bahwa bimbingan dalam penelitian ini merupakan suatu bentuk bantuan yang diberikan kepada individu agar dapat mengembangkan kemampuannya seoptimal mungkin, dan membantu siswa agar memahami dirinya (self understanding), menerima dirinya (self acceptance), mengarahkan dirinya (self direction), dan merealisasikan dirinya (self realization).

Konseling adalah proses pemberian yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang ahli kepada individu yang sedang mengalami suatu masalah yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi oleh klien (Prayitno, 1997:106).

Konseling merupakan upaya bantuan yang diberikan kepada seseorang supaya dia memperoleh konsep diri dan kepercayaan pada diri sendiri, untuk dimanfaatkan olehnya dan memperbaiki tingkah lakunya pada masa yang akan datang (Mungin Eddy Wibowo, 1986:39).

Dari pengertin tersebut, dapat penulis sampaikan ciri-ciri pokok konseling, yaitu:
(1) adanya bantuan dari seorang ahli,
(2) proses pemberian bantuan dilakukan dengan wawancara konseling,
(3) bantuan diberikan kepada individu yang mengalami masalah agar memperoleh konsep diri dan kepercayaan diri dalam mengatasi masalah guna memperbaiki tingkah lakunya di masa yang akan datang.

3. Perlunya Bimbingan dan Konseling di SD

Jika ditinjau secara mendalam, setidaknya ada tiga hal utama yang melatarbelangi perlunya bimbingan yakni tinjauan secara umum, sosio kultural dan aspek psikologis. Secara umum, latar belakang perlunya bimbingan berhubungan erat dengan pencapaian tujuan pendidikan nasional, yaitu: meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, berdisiplin, bekerja keras, tangguh, bertanggung jawab, mandiri, cerdas dan terampil serta sehat jasmani dan rohani.

Untuk mewujudkan tujuan tersebut sudah barang tentu perlu mengintegrasikan seluruh komponen yang ada dalam pendidikan, salah satunya komponen bimbingan.

Bila dicermati dari sudut sosio kultural, yang melatar belakangi perlunya proses bimbingan adalah adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat sehingga berdampak disetiap dimensi kehidupan. Hal tersebut semakin diperparah dengan laju pertumbuhan penduduk yang tinggi, sementara laju lapangan pekerjaan relatif menetap.
Ada lima hal yang melatarbelakangi perlunya layanan bimbingan di sekolah yakni:
(1) masalah perkembangan individu,
(2) masalah perbedaan individual,
(3) masalah kebutuhan individu,
(4) masalah penyesuaian diri dan kelainan tingkah laku, dan
(5) masalah belajar

4. Fungsi Bimbingan dan Konseling di SD

Sugiyo dkk (1987:14) menyatakan bahwa ada tiga fungsi bimbingan dan konseling, yaitu:

a. Fungsi penyaluran ( distributif )

Fungsi penyaluran ialah fungsi bimbingan dalam membantu menyalurkan siswa-siswa dalam memilih program-program pendidikan yang ada di sekolah, memilih jurusan sekolah, memilih jenis sekolah sambungan ataupun lapangan kerja yang sesuai dengan bakat, minat, cita-cita dan ciri- ciri kepribadiannya. Di samping itu fungsi ini meliputi pula bantuan untuk memiliki kegiatan-kegiatan di sekolah antara lain membantu menempatkan anak dalam kelompok belajar, dan lain-lain.

b. Fungsi penyesuaian ( adjustif )

Fungsi penyesuaian ialah fungsi bimbingan dalam membantu siswa untuk memperoleh penyesuaian pribadi yang sehat. Dalam berbagai teknik bimbingan khususnya dalam teknik konseling, siswa dibantu menghadapi dan memecahkan masalah-masalah dan kesulitan-kesulitannya. Fungsi ini juga membantu siswa dalam usaha mengembangkan dirinya secara optimal.

c. Fungsi adaptasi ( adaptif )

Fungsi adaptasi ialah fungsi bimbingan dalam rangka membantu staf sekolah khususnya guru dalam mengadaptasikan program pengajaran dengan ciri khusus dan kebutuhan pribadi siswa-siswa. Dalam fungsi ini pembimbing menyampaikan data tentang ciri-ciri, kebutuhan minat dan kemampuan serta kesulitan-kesulitan siswa kepada guru. Dengan data ini guru berusaha untuk merencanakan pengalaman belajar bagi para siswanya. Sehingga para siswa memperoleh pengalaman belajar yang sesuai dengan bakat, cita-cita, kebutuhan dan minat (Sugiyo, 1987:14)

5. Prinsip-prinsip Bimbingan Konseling di SD

Prinsip merupakan paduan hasil kegiatan teoretik dan telaah lapangan yang digunakan sebagai pedoman pelaksanaan sesuatu yang dimaksudkan (Prayitno, 1997:219). Berikut ini prinsip-prinsip bimbingan konseling yang diramu dari sejumlah sumber, sebagai berikut:

a. Sikap dan tingkah laku seseorang sebagai pencerminan dari segala kejiwaannya adakah unik dan khas. Keunikan ini memberikan ciri atau merupakan aspek kepribadian seseorang. Prinsip bimbingan adalah memperhatikan keunikan, sikap dan tingkah laku seseorang, dalam memberikan layanan perlu menggunakan cara-cara yang sesuai atau tepat.

b. Tiap individu mempunyai perbedaan serta mempunyai berbagai kebutuhan. Oleh karenanya dalam memberikan bimbingan agar dapat efektif perlu memilih teknik-teknik yang sesuai dengan perbedaan dan berbagai kebutuhan individu.

c. Bimbingan pada prinsipnya diarahkan pada suatu bantuan yang pada akhirnya orang yang dibantu mampu menghadapi dan mengatasi kesulitannya sendiri.

d. Dalam suatu proses bimbingan orang yang dibimbing harus aktif , mempunyai bayak inisiatif. Sehingga proses bimbingan pada prinsipnya berpusat pada orang yang dibimbing.

e. Prinsip referal atau pelimpahan dalam bimbingan perlu dilakukan. Ini terjadi apabila ternyata masalah yang timbul tidak dapat diselesaikan oleh sekolah (petugas bimbingan). Untuk menangani masalah tersebut perlu diserahkan kepada petugas atau lembaga lain yang lebih ahli.

f. Pada tahap awal dalam bimbingan pada prinsipnya dimulai dengan kegiatan identifikasi kebutuhan dan kesulitan-kesulitan yang dialami individu yang dibimbing.

g. Proses bimbingan pada prinsipnya dilaksanakan secara fleksibel sesuai dengan kebutuhan yang dibimbing serta kondisi lingkungan masyarakatnya.

h. Program bimbingan dan konseling di sekolah harus sejalan dengan program pendidikan pada sekolah yang bersangkutan. Hal ini merupakan keharusan karena usaha bimbingan mempunyai peran untuk memperlancar jalannya proses pendidikan dalam mencapai tujuan pendidikan.

i. Dalam pelaksanaan program bimbingan dan konseling di sekolah hendaklah dipimpin oleh seorang petugas yang benar-benar memiliki keahlian dalam bidang bimbingan. Di samping itu ia mempunyai kesanggupan bekerja sama dengan petugas-petugas lain yang terlibat.

j. Program bimbingan dan konseling di sekolah hendaknya senantiasa diadakan penilaian secara teratur. Maksud penilaian ini untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan manfaat yang diperoleh dari pelaksanaan program bimbingan. Prinsip ini sebagai tahap evaluasi dalam layanan bimbingan konseling nampaknya masih sering dilupakan. Padahal sebenarnya tahap evaluasi sangat penting artinya, di samping untuk menilai tingkat keberhasilan juga untuk menyempurnakan program dan pelaksanaan bimbingan dan konseling (Prayitno, 1997:219).

6. Kegiatan BK dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi

Berdasakan Pedoman Kurikulum Berbasis Kompetensi bidang Bimbingan Konseling (2004) dinyatakan bahwakerangka kerja layanan BK dikembangkan dalam suatu program BK yang dijabarkan dalam 4 (empat) kegiatan utama, yakni:

a. Layanan dasar bimbingan

Layanan dasar bimbingan adalah bimbingan yang bertujuan untuk membantu seluruh siswa mengembangkan perilaku efektif dan ketrampilan-ketrampilan hidup yang mengacu pada tugas-tugas perkembangan siswa SD.

b. Layanan responsif adalah layanan bimbingan yang bertujuan untuk membantu memenuhi kebutuhan yang dirasakan sangat penting oleh peserta didik saat ini. Layanan ini lebih bersifat preventik atau mungkin kuratif. Strategi yang digunakan adalah konseling individual, konseling kelompok, dan konsultasi. Isi layanan responsif adalah:
(1) bidang pendidikan;
(2) bidang belajar;
(3)bidang sosial;
(4) bidang pribadi;
(5) bidang karir;
(6) bidang tata tertib SD;
(7) bidang narkotika dan perjudian;
(8) bidang perilaku sosial, dan
(9)bidang kehidupan lainnya.

c. Layanan perencanaan individual adalah layanan bimbingan yang membantu seluruh peserta didik dan mengimplementasikan rencana-rencana pendidikan, karir,dan kehidupan sosial dan pribadinya. Tujuan utama dari layanan ini untuk membantu siswa memantau pertumbuhan dan memahami perkembangan sendiri.

d. Dukungan sistem, adalah kegiatan-kegiatan manajemen yang bertujuan memantapkan, memelihara dan meningkatkan progam bimbingan secara menyeluruh. Hal itu dilaksanakan melalui pengembangaan profesionalitas, hubungan masyarakat dan staf, konsultasi dengan guru, staf ahli/penasihat, masyarakat yang lebih luas, manajemen program, penelitian dan pengembangan (Thomas Ellis, 1990)

Kegiatan utama layanan dasar bimbingan yang responsif dan mengandung perencanaan individual serta memiliki dukungan sistem dalam implementasinya didukung oleh beberapa jenis layanan BK, yakni:
(1) layanan pengumpulan data,
(2) layanan informasi,
(3) layanan penempatan,
(4) layanan konseling,
(5) layanan referal/melimpahkan ke pihak lain, dan
(6) layanan penilaian dan tindak lanjut (Nurihsan, 2005:21).

7. Peran Guru Kelas dalam Kegiatan BK di SD

Implementasi kegiatan BK dalam pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi sangat menentukan keberhasilan proses belajar-mengajar. Oleh karena itu peranan guru kelas dalam pelaksanaan kegiatan BK sangat penting dalam rangka mengefektifkan pencapaian tujuan pembelajaran yang dirumuskan.

Sardiman (2001:142) menyatakan bahwa ada sembilan peran guru dalam kegiatan BK, yaitu:

a. Informator, guru diharapkan sebagai pelaksana cara mengajar informatif, laboratorium, studi lapangan, dan sumber informasi kegiatan akademik maupun umum.

b. Organisator, guru sebagai pengelola kegiatan akademik, silabus, jadwal pelajaran dan lain-lain.

c. Motivator, guru harus mampu merangsang dan memberikan dorongan serta reinforcement untuk mendinamisasikan potensi siswa, menumbuhkan swadaya (aktivitas) dan daya cipta (kreativitas) sehingga akan terjadi dinamika di dalam proses belajar-mengajar.

d. Director, guru harus dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar siswa sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan.

e. Inisiator, guru sebagai pencetus ide dalam proses belajar-mengajar.

f. Transmitter, guru bertindak selaku penyebar kebijaksanaan dalam pendidikan dan pengetahuan.

g. Fasilitator, guru akan memberikan fasilitas atau kemudahan dalam proses belajar-mengajar.

h. Mediator, guru sebagai penengah dalam kegiatan belajar siswa.

i. Evaluator, guru mempunyai otoritas untuk menilai prestasi anak didik dalam bidang akademik maupun tingkah laku sosialnya, sehingga dapat menentukan bagaimana anak didiknya berhasil atau tidak.


smber:dari berbagai sumber

Sabtu, 21 November 2009

Profesi Guru Di Abad 21

Kita telah memasuki abad 21 yang dikenal dengan abad pengetahuan. Para peramal masa depan (futurist) mengatakan sebagai abad pengetahuan karena pengetahuan akan menjadi landasan utama segala aspek kehidupan (Trilling dan Hood, 1999). Abad pengetahuan merupakan suatu era dengan tuntutan yang lebih rumit dan menantang. Suatu era dengan spesifikasi tertentu yang sangat besar pengaruhnya terhadap dunia pendidikan dan lapangan kerja. Perubahan-perubahan yang terjadi selain karena perkembangan teknologi yang sangat pesat, juga diakibatkan oleh perkembangan yang luar biasa dalam ilmu pengetahuan, psikologi, dan transformasi nilai-nilai budaya. Dampaknya adalah perubahan cara pandang manusia terhadap manusia, cara pandang terhadap pendidikan, perubahan peran orang tua/guru/dosen, serta perubahan pola hubungan antar mereka.

Trilling dan Hood (1999) mengemukakan bahwa perhatian utama pendidikan di abad 21 adalah untuk mempersiapkan hidup dan kerja bagi masyarakat.Tibalah saatnya menoleh sejenak ke arah pandangan dengan sudut yang luas mengenai peran-peran utama yang akan semakin dimainkan oleh pembelajaran dan pendidikan dalam masyarakat yang berbasis pengetahuan.

Kemerosotan pendidikan kita sudah terasakan selama bertahun-tahun, untuk kesekian kalinya kurikulum dituding sebagai penyebabnya. Hal ini tercermin dengan adanya upaya mengubah kurikulum mulai kurikulum 1975 diganti dengan kurikulum 1984, kemudian diganti lagi dengan kurikulum 1994. Nasanius (1998) mengungkapkan bahwa kemerosotan pendidikan bukan diakibatkan oleh kurikulum tetapi oleh kurangnya kemampuan profesionalisme guru dan keengganan belajar siswa. Profesionalisme sebagai penunjang kelancaran guru dalam melaksanakan tugasnya, sangat dipengaruhi oleh dua faktor besar yaitu faktor internal yang meliputi minat dan bakat dan faktor eksternal yaitu berkaitan dengan lingkungan sekitar, sarana prasarana, serta berbagai latihan yang dilakukan guru.(Sumargi, 1996) Profesionalisme guru dan tenaga kependidikan masih belum memadai utamanya dalam hal bidang keilmuannya. Misalnya guru Biologi dapat mengajar Kimia atau Fisika. Ataupun guru IPS dapat mengajar Bahasa Indonesia. Memang jumlah tenaga pendidik secara kuantitatif sudah cukup banyak, tetapi mutu dan profesionalisme belum sesuai dengan harapan. Banyak diantaranya yang tidak berkualitas dan menyampaikan materi yang keliru sehingga mereka tidak atau kurang mampu menyajikan dan menyelenggarakan pendidikan yang benar-benar berkualitas (Dahrin, 2000).

Banyak faktor yang menyebabkan kurang profesionalismenya seorang guru, sehingga pemerintah berupaya agar guru yang tampil di abad pengetahuan adalah guru yang benar-benar profesional yang mampu mengantisipasi tantangan-tantangan dalam dunia pendidikan.

1. Pendidikan di Abad Pengetahuan

Surya (1998) mengungkapkan bahwa pendidikan di Indonesia di abad 21 mempunyai karakteristik sebagai berikut:
(1) Pendidikan nasional mempunyai tiga fungsi dasar yaitu; (a) untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, (b) untuk mempersiapkan tenaga kerja terampil dan ahli yang diperlukan dalam proses industrialisasi, (c) membina dan mengembangkan penguasaan berbagai cabang keahlian ilmu pengetahuan dan teknologi;
(2) Sebagai negara kepulauan yang berbeda-beda suku, agama dan bahasa, pendidikan tidak hanya sebagai proses transfer pengetahuan saja, akan tetapi mempunyai fungsi pelestarian kehidupan bangsa dalam suasana persatuan dan kesatuan nasional;
(3) Dengan makin meningkatnya hasil pembangunan, mobilitas penduduk akan mempengaruhi corak pendidikan nasional;
(4) Perubahan karakteristik keluarga baik fungsi maupun struktur, akan banyak menuntut akan pentingnya kerja sama berbagai lingkungan pendidikan dan dalam keluarga sebagai intinya. Nilai-nilai keluarga hendaknya tetap dilestarikan dalam berbagai lingkungan pendidikan;
(5) Asas belajar sepanjang hayat harus menjadi landasan utama dalam mewujudkan pendidikan untuk mengimbangi tantangan perkembangan jaman;
(6) Penggunaan berbagai inovasi Iptek terutama media elektronik, informatika, dan komunikasi dalam berbagai kegiatan pendidikan,
(7) Penyediaan perpustakaan dan sumber-sumber belajar sangat diperlukan dalam menunjang upaya pendidikan dalam pendidikan;
(8) Publikasi dan penelitian dalam bidang pendidikan dan bidang lain yang terkait, merupakan suatu kebutuhan nyata bagi pendidikan di abad pengetahuan.

Pendidikan di abad pengetahuan menuntut adanya manajemen pendidikan yang modern dan profesional dengan bernuansa pendidikan. Lembaga-lembaga pendidikan diharapkan mampu mewujudkan peranannya secara efektif dengan keunggulan dalam kepemimpinan, staf, proses belajar mengajar, pengembangan staf, kurikulum, tujuan dan harapan, iklim sekolah, penilaian diri, komunikasi, dan keterlibatan orang tua/masyarakat. Tidak kalah pentingnya adalah sosok penampilan guru yang ditandai dengan keunggulan dalam nasionalisme dan jiwa juang, keimanan dan ketakwaan, penguasaan iptek, etos kerja dan disiplin, profesionalisme, kerjasama dan belajar dengan berbagai disiplin, wawasan masa depan, kepastian karir, dan kesejahteraan lahir batin. Pendidikan mempunyai peranan yang amat strategis untuk mempersiapkan generasi muda yang memiliki keberdayaan dan kecerdasan emosional yang tinggi dan menguasai megaskills yang mantap. Untuk itu, lembaga penidikan dalam berbagai jenis dan jenjang memerlukan pencerahan dan pemberdayaan dalam berbagai aspeknya.

Menurut Makagiansar (1996) memasuki abad 21 pendidikan akan mengalami pergeseran perubahan paradigma yang meliputi pergeseran paradigma:
(1) Dari belajar terminal ke belajar sepanjang hayat.
(2) Dari belajar berfokus penguasaan pengetahuan ke belajar holistic.
(3) Dari citra hubungan guru-murid yang bersifat konfrontatif ke citra hubungan kemitraan
(4) Dari pengajar yang menekankan pengetahuan skolastik (akademik) ke penekanan keseimbangan fokus pendidikan nilai.
(5) Dari kampanye melawan buta aksara ke kampanye melawan buat teknologi, budaya, dan computer.
(6) Dari penampilan guru yang terisolasi ke penampilan dalam tim kerja.
(7) Dari konsentrasi eksklusif pada kompetisi ke orientasi kerja sama. Dengan memperhatikan pendapat ahli tersebut nampak bahwa pendidikan dihadapkan pada tantangan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas dalam menghadapi berbagai tantangan dan tuntutan yang bersifat kompetitif.

2. Gambaran Pembelajaran di Abad Pengetahuan

Praktek pembelajaran yang terjadi sekarang masih didominasi oleh pola atau paradigma yang banyak dijumpai di abad industri. Pada abad pengetahuan paradigma yang digunakan jauh berbeda dengan pada abad industri. Galbreath (1999) mengemukakan bahwa pendekatan pembelajaran yang digunakan pada abad pengetahuan adalah pendekatan campuran yaitu perpaduan antara pendekatan belajar dari guru, belajar dari siswa lain, dan belajar pada diri sendiri. Praktek pembelajaran di abad industri dan abad pengetahuan dapat dilihat pada Tabel berikut;

Abad Industri

1. Guru sebagai pengarah
2. Guru sbgai smber pengetahuan
3. Belajar diarahkan oleh kuri- kulum.
4. Belajar dijadualkan secara ketat dgn waktu yang terbatas
5. Terutama didasarkan pd fakta
6. Bersifat teoritik, prinsip- prinsip dan survei
7. Pengulangan dan latihan
8. Aturan dan prosedur
9. Kompetitif
10. Berfokus pada kelas
11. Hasilnya ditentukan sblmnya
12. Mengikuti norma
13. Komputer sbg subyek belajar
14. Presentasi dgn media statis
15. Komunikasi sebatas ruang kls
16. Tes diukur dengan norma

Abad Pengetahuan

1. Guru sebagai fasilitator, pembimbing, konsultan
2. Guru sebagai kawan belajar
3. Belajar diarahkan oleh siswa kulum.
4. Belajar secara terbuka, ketat dgn waktu yang terbatas fleksibel sesuai keperluan
5. Terutama berdasarkan proyek dan masalah
6. Dunia nyata, dan refleksi prinsip dan survei
7. Penyelidikan dan perancangan
8. Penemuan dan penciptaan
9. Colaboratif
10. Berfokus pada masyarakat
11. Hasilnya terbuka
12. Keanekaragaman yang kreatif
13. Komputer sebagai peralatan semua jenis belajar
14. Interaksi multi media yang dinamis
15. Komunikasi tidak terbatas ke seluruh dunia
16. Unjuk kerja diukur oleh pakar, penasehat, kawan sebaya dan diri sendiri.


Berdasarkan Tabel dapat diambil beberapa kesimpulan bahwa;
1. Pada abad industri banyak dijumpai belajar melalui fakta, drill dan praktek, dan menggunakan aturan dan prosedur-prosedur. Sedangkan di abad pengetahuan menginginkan paradigma belajar melalui proyek-proyek dan permasalahan-permasalahan, inkuiri dan desain, menemukan dan penciptaan.
2 Betapa sulitnya mencapai reformasi yang sistemik, karena bila paradigma lama masih dominan, dampak reformasi cenderung akan ditelan oleh pengaruh paradigma lama.
3. Meskipun telah dinyatakan sebagai polaritas, perbedaan praktik pembelajaran Abad Pengetahuan dan Abad Industri dianggap sebagai suatu kontinum. Meskipun sekarang dimungkinkan memandang banyak contoh praktek di Abad Industri yang "murni" dan jauh lebih sedikit contoh lingkungan pembelajaran di Abad Pengetahuan yang "murni", besar kemungkinannya menemukan metode persilangan perpaduan antara metode di Abad Pengetahuan dan metode di Abad Industri. Perlu diingat dalam melakukan reformasi pembelajaran, metode lama tidak sepenuhnya hilang, namun hanya digunakan kurang lebih jarang dibanding metode-metode baru.
4. Praktek pembelajaran di Abad Pengetahuan lebih sesuai dengan teori belajar modern. Melalui penggunaan prinsip-prinsip belajar berorientasi pada proyek dan permasalahan sampai aktivitas kolaboratif dan difokuskan pada masyarakat, belajar kontekstual yang didasarkan pada dunia nyata dalam konteks ke peningkatan perhatian pada tindakan-tindakan atas dorongan pembelajar sendiri.
5. Pada Abad Pengetahuan nampaknya praktek pembelajaran tergantung pada piranti-piranti pengetahuan modern yakni komputer dan telekomunikasi, namun sebagian besar karakteristik Abad Pengetahuan bisa dicapai tanpa memanfaatkan piranti modern. Meskipun teknologi informasi dan telekomunikasi merupakan katalis yang penting yang membawa kita pada metode belajar Abad Pengetahuan, perlu diingat bahwa yang membedakan metode tersebut adalah pelaksanaan hasilnya bukan alatnya. Kita dapat melengkapi peralatan lembaga pendidikan kita dengan teknologi canggih tanpa mengubah pelaksanaan dan hasilnya.

Akhirnya yang paling penting, paradigma baru pembelajaran ini memberikan peluang dan tantangan yang besar bagi perkembangan profesional, baik pada preservice dan inservice guru-guru kita. Di banyak hal, paradigma ini menggam-barkan redefinisi profesi pengajaran dan peran-peran yang dimainkan guru dalam proses pembelajaran. Meskipun kebutuhan untuk merawat, mengasuh, menyayangi dan mengembangkan anak-anak kita secara maksimal itu akan selalu tetap berada dalam genggaman pengajaran, tuntutan-tuntutan baru Abad Pengetahuan menghasilkan sederet prinsip pembelajaran baru dan perilaku yang harus dipraktikkan. Berdasarkan gambaran pembelajan di abad pengetahuan di atas, nampalah bahwa pentingnya pengembangan profesi guru dalam menghadapi berbagai tantangan ini.

3. Pengembangan Profesionalisme Guru

Menurut para ahli, profesionalisme menekankan kepada penguasaan ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya. Maister (1997) mengemukakan bahwa profesionalisme bukan sekadar pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih merupakan sikap, pengembangan profesionalisme lebih dari seorang teknisi bukan hanya memiliki keterampilan yang tinggi tetapi memiliki suatu tingkah laku yang dipersyaratkan.

Memperhatikan kualitas guru di Indonesia memang jauh berbeda dengan dengan guru-guru yang ada di Amerika Serikat atau Inggris. Di Amerika Serikat pengembangan profesional guru harus memenuhi standar sebagaimana yang dikemukakan Stiles dan Horsley (1998) dan NRC (1996) bahwa ada empat standar standar pengembangan profesi guru yaitu;
(1) Standar pengembangan profesi A adalah pengembangan profesi untuk para guru sains memerlukan pembelajaran isi sains yang diperlukan melalui perspektif-perspektif dan metode-metode inquiri. Para guru dalam sketsa ini melalui sebuah proses observasi fenomena alam, membuat penjelasan-penjelasan dan menguji penjelasan-penjelasan tersebut berdasarkan fenomena alam.
(2) Standar pengembangan profesi B adalah pengembangan profesi untuk guru sains memerlukan pengintegrasian pengetahuan sains, pembelajaran, pendidikan, dan siswa, juga menerapkan pengetahuan tersebut ke pengajaran sains. Pada guru yang efektif tidak hanya tahu sains namun mereka juga tahu bagaimana mengajarkannya. Guru yang efektif dapat memahami bagaimana siswa mempelajari konsep-konsep yang penting, konsep-konsep apa yang mampu dipahami siswa pada tahap-tahap pengembangan, profesi yang berbeda, dan pengalaman, contoh dan representasi apa yang bisa membantu siswa belajar.
(3) Standar pengembangan profesi C adalah pengembangan profesi untuk para guru sains memerlukan pembentukan pemahaman dan kemampuan untuk pembelajaran sepanjang masa. Guru yang baik biasanya tahu bahwa dengan memilih profesi guru, mereka telah berkomitmen untuk belajar sepanjang masa. Pengetahuan baru selalu dihasilkan sehingga guru berkesempatan terus untuk belajar.
(4) Standar pengembangan profesi D adalah program-program profesi untuk guru sains harus koheren (berkaitan) dan terpadu. Standar ini dimaksudkan untuk menangkal kecenderungan kesempatan-kesempatan pengembangan profesi terfragmentasi dan tidak berkelanjutan.

Apabila guru di Indonesia telah memenuhi standar profesional guru sebagaimana yang berlaku di Amerika Serikat maka kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia semakin baik. Selain memiliki standar profesional guru sebagaimana uraian di atas, di Amerika Serikat sebagaimana diuraikan dalam jurnal Educational Leadership 1993 (dalam Supriadi 1998) dijelaskan bahwa untuk menjadi profesional seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal:
(1) Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya.
(2) Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarnya kepada siswa.
(3) Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi.
(4) Guru mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya.
(5) Guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.

Arifin (2000) mengemukakan guru Indonesia yang profesional dipersyaratkan mempunyai;
(1) Dasar ilmu yang kuat sebagai pengejawantahan terhadap masyarakat teknologi dan masyarakat ilmu pengetahuan di abad 21;
(2) Penguasaan kiat-kiat profesi berdasarkan riset dan praksis pendidikan yaitu ilmu pendidikan sebagai ilmu praksis bukan hanya merupakan konsep-konsep belaka. Pendidikan merupakan proses yang terjadi di lapangan dan bersifat ilmiah, serta riset pendidikan hendaknya diarahkan pada praksis pendidikan masyarakat Indonesia;
(3) Pengembangan kemampuan profesional berkesinambungan, profesi guru merupakan profesi yang berkembang terus menerus dan berkesinambungan antara LPTK dengan praktek pendidikan. Kekerdilan profesi guru dan ilmu pendidikan disebabkan terputusnya program pre-service dan in-service karena pertimbangan birokratis yang kaku atau manajemen pendidikan yang lemah.

Dengan adanya persyaratan profesionalisme guru ini, perlu adanya paradigma baru untuk melahirkan profil guru Indonesia yang profesional di abad 21 yaitu;
(1) Memiliki kepribadian yang matang dan berkembang;
(2) Penguasaan ilmu yang kuat;
(3) Keterampilan untuk membangkitkan peserta didik kepada sains dan teknologi; dan
(4) Pengembangan profesi secara berkesinambungan. Keempat aspek tersebut merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan dan ditambah dengan usaha lain yang ikut mempengaruhi perkembangan profesi guru yang profesional.

Dimensi lain dari pola pembinaan profesi guru adalah (1) hubungan erat antara perguruan tinggi dengan pembinaan SLTA; (2) meningkatkan bentuk rekrutmen calon guru; (3) program penataran yang dikaitkan dengan praktik lapangan; (4) meningkatkan mutu pendidikan calon pendidik; (5) pelaksanaan supervisi; (6) peningkatan mutu manajemen pendidikan berdasarkan Total Quality Management (TQM); (7) melibatkan peran serta masyarakat berdasarkan konsep linc and match; (8) pemberdayaan buku teks dan alat-alat pendidikan penunjang; (9) pengakuan masyarakat terhadap profesi guru; (10) perlunya pengukuhan program Akta Mengajar melalui peraturan perundangan; dan (11) kompetisi profesional yang positif dengan pemberian kesejahteraan yang layak.

Apabila syarat-syarat profesionalisme guru di atas itu terpenuhi akan mengubah peran guru yang tadinya pasif menjadi guru yang kreatif dan dinamis. Hal ini sejalan dengan pendapat Semiawan (1991) bahwa pemenuhan persyaratan guru profesional akan mengubah peran guru yang semula sebagai orator yang verbalistis menjadi berkekuatan dinamis dalam menciptakan suatu suasana dan lingkungan belajar yang invitation learning environment. Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, guru memiliki multi fungsi yaitu sebagai fasilitator, motivator, informator, komunikator, transformator, change agent, inovator, konselor, evaluator, dan administrator (Soewondo, 1972 dalam Arifin 2000).

Pengembangan profesionalisme guru menjadi perhatian secara global, karena guru memiliki tugas dan peran bukan hanya memberikan informasi-informasi ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan juga membentuk sikap dan jiwa yang mampu bertahan dalam era hiperkompetisi. Tugas guru adalah membantu peserta didik agar mampu melakukan adaptasi terhadap berbagai tantangan kehidupan serta desakan yang berkembang dalam dirinya. Pemberdayaan peserta didik ini meliputi aspek-aspek kepribadian terutama aspek intelektual, sosial, emosional, dan keterampilan. Tugas mulia itu menjadi berat karena bukan saja guru harus mempersiapkan generasi muda memasuki abad pengetahuan, melainkan harus mempersiapkan diri agar tetap eksis, baik sebagai individu maupun sebagai profesional.

4. Faktor-faktor Penyebab Rendahnya Profesionalisme Guru

Kondisi pendidikan nasional kita memang tidak secerah di negara-negara maju. Baik institusi maupun isinya masih memerlukan perhatian ekstra pemerintah maupun masyarakat. Dalam pendidikan formal, selain ada kemajemukan peserta, institusi yang cukup mapan, dan kepercayaan masyarakat yang kuat, juga merupakan tempat bertemunya bibit-bibit unggul yang sedang tumbuh dan perlu penyemaian yang baik. Pekerjaan penyemaian yang baik itu adalah pekerjaan seorang guru. Jadi guru memiliki peran utama dalam sistem pendidikan nasional khususnya dan kehidupan kita umumnya.

Guru sangat mungkin dalam menjalankan profesinya bertentangan dengan hati nuraninya, karena ia paham bagaimana harus menjalankan profesinya namun karena tidak sesuai dengan kehendak pemberi petunjuk atau komando maka cara-cara para guru tidak dapat diwujudkan dalam tindakan nyata. Guru selalu diinterpensi. Tidak adanya kemandirian atau otonomi itulah yang mematikan profesi guru dari sebagai pendidik menjadi pemberi instruksi atau penatar. Bahkan sebagai penatarpun guru tidak memiliki otonomi sama sekali. Selain itu, ruang gerak guru selalu dikontrol melalui keharusan membuat satuan pelajaran (SP). Padahal, seorang guru yang telah memiliki pengalaman mengajar di atas lima tahun sebetulnya telah menemukan pola belajarnya sendiri. Dengan dituntutnya guru setiap kali mengajar membuat SP maka waktu dan energi guru banyak terbuang. Waktu dan energi yang terbuang ini dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya.

Akadum (1999) menyatakan dunia guru masih terselingkung dua masalah yang memiliki mutual korelasi yang pemecahannya memerlukan kearifan dan kebijaksanaan beberapa pihak terutama pengambil kebijakan; (1) profesi keguruan kurang menjamin kesejahteraan karena rendah gajinya. Rendahnya gaji berimplikasi pada kinerjanya; (2) profesionalisme guru masih rendah.

Selain faktor di atas faktor lain yang menyebabkan rendahnya profesionalisme guru disebabkan oleh antara lain;
(1) Masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara utuh. Hal ini disebabkan oleh banyak guru yang bekerja di luar jam kerjanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sehingga waktu untuk membaca dan menulis untuk meningkatkan diri tidak ada;
(2) Belum adanya standar profesional guru sebagaimana tuntutan di negara-negara maju; (3) Kemungkinan disebabkan oleh adanya perguruan tinggi swasta sebagai pencetak guru yang lulusannya asal jadi tanpa mempehitungkan outputnya kelak di lapangan sehingga menyebabkan banyak guru yang tidak patuh terhadap etika profesi keguruan; (4) kurangnya motivasi guru dalam meningkatkan kualitas diri karena guru tidak dituntut untuk meneliti sebagaimana yang diberlakukan pada dosen di perguruan tinggi.
(4) Masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara total,
(5) Rentan dan rendahnya kepatuhan guru terhadap norma dan etika profesi keguruan,
(6) Pengakuan terhadap ilmu pendidikan dan keguruan masih setengah hati dari pengambilan kebijakan dan pihak-pihak terlibat. Hal ini terbukti dari masih belum mantapnya kelembagaan pencetak tenaga keguruan dan kependidikan,
(7) Masih belum smooth-nya perbedaan pendapat tentang proporsi materi ajar yang diberikan kepada calon guru,
(8) Masih belum berfungsi PGRI sebagai organisasi profesi yang berupaya secara makssimal meningkatkan profesionalisme anggotanya. Kecenderungan PGRI bersifat politis memang tidak bisa disalahkan, terutama untuk menjadi pressure group agar dapat meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Namun demikian di masa mendatang PGRI sepantasnya mulai mengupayakan profesionalisme para anggo-tanya. Dengan melihat adanya faktor-fak tor yang menyebabkan rendahnya profesionalisme guru, pemerintah berupaya untuk mencari alternatif untuk meningkatkan profesi guru.

5. Upaya Meningkatkan Profesionalisme Guru

Pemerintah telah berupaya untuk meningkatkan profesionalisme guru diantaranya meningkatkan kualifikasi dan persyaratan jenjang pendidikan yang lebih tinggi bagi tenaga pengajar mulai tingkat persekolahan sampai perguruan tinggi. Program penyetaaan Diploma II bagi guru-guru SD, Diploma III bagi guru-guru SLTP dan Strata I (sarjana) bagi guru-guru SLTA. Meskipun demikian penyetaraan ini tidak bermakna banyak, kalau guru tersebut secara entropi kurang memiliki daya untuk melakukan perubahan.

Selain diadakannya penyetaraan guru-guru, upaya lain yang dilakukan pemerintah adalah program sertifikasi. Program sertifikasi telah dilakukan oleh Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam (Dit Binrua) melalui proyek Peningkatan Mutu Pendidikan Dasar (ADB Loan 1442-INO) yang telah melatih 805 guru MI dan 2.646 guru MTs dari 15 Kabupaten dalam 6 wilayah propinsi yaitu Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB dan Kalimantan Selatan (Pantiwati, 2001).


Selain sertifikasi upaya lain yang telah dilakukan di Indonesia untuk meningkatkan profesionalisme guru, misalnya PKG (Pusat Kegiatan Guru, dan KKG (Kelompok Kerja Guru) yang memungkinkan para guru untuk berbagi pengalaman dalam memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam kegiatan mengajarnya (Supriadi, 1998).

Profesionalisasi harus dipandang sebagai proses yang terus menerus. Dalam proses ini, pendidikan prajabatan, pendidikan dalam jabatan termasuk penataran, pembinaan dari organisasi profesi dan tempat kerja, penghargaan masyarakat terhadap profesi keguruan, penegakan kode etik profesi, sertifikasi, peningkatan kualitas calon guru, imbalan, dll secara bersama-sama menentukan pengembangan profesionalisme seseorang termasuk guru.

Dengan demikian usaha meningkatkan profesionalisme guru merupakan tanggung jawab bersama antara LPTK sebagai penghasil guru, instansi yang membina guru (dalam hal ini Depdiknas atau yayasan swasta), PGRI dan masyarakat.

Dari beberapa upaya yang telah dilakukan pemerintah di atas, faktor yang paling penting agar guru-guru dapat meningkatkan kualifikasi dirinya yaitu dengan menyetarakan banyaknya jam kerja dengan gaji guru. Program apapun yang akan diterapkan pemerintah tetapi jika gaji guru rendah, jelaslah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya guru akan mencari pekerjaan tambahan untuk mencukupi kebutuhannya. Tidak heran kalau guru-guru di negara maju kualitasnya tinggi atau dikatakan profesional, karena penghargaan terhadap jasa guru sangat tinggi. Dalam Journal PAT (2001) dijelaskan bahwa di Inggris dan Wales untuk meningkatkan profesionalisme guru pemerintah mulai memperhatikan pembayaran gaji guru diseimbangkan dengan beban kerjanya. Di Amerika Serikat hal ini sudah lama berlaku sehingga tidak heran kalau pendidikan di Amerika Serikat menjadi pola anutan negara-negara ketiga. Di Indonesia telah mengalami hal ini tetapi ketika jaman kolonial Belanda. Setelah memasuki jaman orde baru semua ber ubah sehingga kini dampaknya terasa, profesi guru menduduki urutan terbawah dari urutan profesi lainnya seperti dokter, jaksa, dll.

6.Kesimpulan dan Saran

Memperhatikan peran guru dan tugas guru sebagai salah satu faktor determinan bagi keberhasilan pendidikan, maka keberadaan dan peningkatan profesi guru menjadi wacana yang sangat penting. Pendidikan di abad pengetahuan menuntut adanya manajemen pendidikan modern dan profesional dengan bernuansa pendidikan.

Kemerosotan pendidikan bukan diakibatkan oleh kurikulum tetapi oleh kurangnya kemampuan profesionalisme guru dan keengganan belajar siswa. Profesionalisme menekankan kepada penguasaan ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya. Profesionalisme bukan sekadar pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih merupakan sikap, pengembangan profesionalisme lebih dari seorang teknisi bukan hanya memiliki keterampilan yang tinggi tetapi memiliki suatu tingkah laku yang dipersyaratkan.

Guru yang profesional pada dasarnya ditentukan oleh attitudenya yang berarti pada tataran kematangan yang mempersyaratkan willingness dan ability, baik secara intelektual maupun pada kondisi yang prima. Profesionalisasi harus dipandang sebagai proses yang terus menerus. Usaha meningkatkan profesionalisme guru merupakan tanggung jawab bersama antara LPTK sebagai pencetak guru, instansi yang membina guru (dalam hal ini Depdiknas atau yayasan swasta), PGRI dan masyarakat.

Selasa, 27 Oktober 2009

KEPALA SEKOLAH DAN GURU

1. Pengertian Standar tenaga pendidik dan kependidikan nasional
Standar tenaga pendidikan merupakan salah satu dari delapan standar nasional yang ada. Standar tenaga pendidik adalah pihak yang menjalankan dan mengawasi jalannya proses pendidikan dalam suatu lembaga pendidikan. . Tenaga kependidikan meliputi kepala sekolah/madrasah, pengawas satuan pendidikan, tenaga administrasi, tenaga perpustakaan, tenaga laboratorium, teknisi, pengelola kelompok belajar, pamong belajar, dan tenaga kebersihan.
Sebagai seorang pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

Kualifikasi akademik yang dimaksudkan di atas adalah tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik yang dibuktikan dengan ijazah dan/atau sertifikat keahlian yang relevan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi:
• Kompetensi pedagogik;
• Kompetensi kepribadian;
• Kompetensi profesional; dan
• Kompetensi sosial.
Pertama, kompetensi pedagogik. Adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
Kedua, kompetensi kepribadian. Adalah kepribadian pendidik yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia.
Kedua, kompetensi kepribadian. Adalah kepribadian pendidik yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia.
Keempat, kompetensi profesional. Adalah kemampuan pendidik dalam penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkannya membimbing peserta didik memperoleh kompetensi yang ditetapkan

Pendidik meliputi pendidik pada TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SDLB/SMPLB/SMALB, SMK/MAK, satuan pendidikan Paket A, Paket B dan Paket C, dan pendidik pada lembaga kursus dan pelatihan.

Berikut ini, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia yang berkaitan dengan Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan.
• Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 12 Tahun 2007 tentang Standar Pengawas Sekolah/Madrasah.
• Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah.
• Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru.
• Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 24 Tahun 2008 tentang Standar Tenaga Administrasi Sekolah.
• Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 25 Tahun 2008 tentang Standar Tenaga Perpustakaan Sekolah/Madrasah.
• Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 27 Tahun 2008 tentang Standar Kulifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor.
Berikut ini akan dibahas lebih lanjut mengenai kepala sekolah dan guru.(tenaga pendidik)


2. KEPALA SEKOLAH
Kepala sekolah merupakan tokoh kunci keberhasilan suatu sekolah. De Roche (1987) mengungkapkan bahwa tidak ada sekolah yang baik tanpa kepala sekolah yang baik. Karena itu wajar kalau dikatakan "the key person" keberhasilan peningkatan kualitas pendidikan di sekolah adalah kepala sekolah. Tanpa mengenyampingkan peran yang kolaboratif para guru yang tergabung dalam sistem proses manajemen sekolah Sergiovanni (1987) juga mengungkapkan bahwa tidak ada siswa yang tidak dapat dididik, yang ada adalah guru yang tidak berhasil mendidik. Tidak ada guru yang tidak berhasil mendidik, yang ada adalah kepala sekolah yang tidak mampu membuat guru berhasil mendidik". Sehubungan dengan itu pula Pokja Penyusunan Standar Pengembangan Mutu Kepala Sekolah yang diketuai oleh Prof.DR. Ibrahim Bafadhal mengungkap hasil penelitian kekepalasekolahan berakhir pada kesimpulan bahwa keberadaan kepala sekolah yang mampu memerankan dirinya secara efektif dan efisien dapat memberikan kontribusi yang cukup besar bagi terwujudnya kualitas atau mutu sekolah.

` Kalau dilihat dari sejarahnya, sampai dengan akhir tahun 80-an seorang kepala sekolah masih merupakan seorang pejabat struktural dengan eselon IV dan merangkap jabatan fungsional sebagai guru. Fungsi dan tugas kepala sekolah yang diatur dengan Kepmendikbud No. 0489/U/1992 untuk SMU dan Kepmendikbud No.054/U/1993 untuk SLTP misalnya, seorang kepala sekolah mempunyai tugas
:

(a) menyelenggarakan kegiatan pendidikan

(b) membina kesiswaan

(c) melaksanakan bimbingan dan penilaian bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya;

d) menyelenggarakan administrasi sekolah


(e) merencanakan pengembangan, pendayagunaan, dan pemeliharaan sarana prasarana;

(f) melaksanakan hubungan sekolah dengan lingkungan, orang tua dan / masyarakat. Kepala sekolah dalam jabatannya itu berfungsi sebagai Edukator, Manajer, Administrator dan supervisor

Namun dalam situasi sekarang ini telah terjadi "perubahan" dalam dua tahap yang "dijanjikan" akan lebih baik. Perubahan pertama terjadi sejak ditetapkan Kepmendikbud RI nomor : 0296/U/1996 tanggal 1 Oktober 1996 sampai dikeluarkannya Kepmendiknas RI Nomor 162/U/2003 tentang Pedoman Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah, seorang Kepala Sekolah tidak lagi sebagai pejabat struktural dengan eselon tertentu. Kepala Sekolah "hanya' seorang guru yang atas dasar kompetensinya diberi tugas tambahan mengelola satuan pendidikan. Jadi seorang kepala sekolah pada dasarnya seorang guru, yaitu seorang guru yang dipandang memenuhi syarat tertentu dalam memangku jabatan professional sebagai pengelola satuan pendidikan.

Masih bisa dipahami jika status yang serba mendua tersebut masih disandang seorang kepala sekolah, karena payung hukum untuk menjadi kepala sekolah profesional memang masih belum memadai. Untuk menjadikan kepala sekolah sebagai jabatan professional tentu akan berkaitan dengan bebrapa hal seperti penggajian, kode etik, pembinaan profesi, organisasi profesi, dan hal lain yang diperlukan untuk suatu profesi. Belum siapnya hal-hal tersebut maka seorang kepala sekolah masih harus menginjakkan kakinya di wilayah profesi sebagai guru.

Jika memperhatikan semakin meluasnya tugas dan fungsi / peran kepala sekolah di abad millennium ini maka memang sudah saatnya jabatan kepala sekolah berdiri tegak pada satu profesi. Ketika Rambu-rambu Penilaian Kinerja Sekolah (khususnya SLTP an SMU) diluncurkan oleh Depdiknas di tahun 2000, tanggung jawab kepemimpinan seorang kepala sekolah mengacu pada tiga hal yaitu Input, Process, dan Output atau MPK (Masukan, Proses, Keluaran). Dalam melaksanakan tugas yang berkaitan dengan komponen proses inilah fungsi / peran seorang kepala sekolah sudah semakin meluas dibanding sebelumnya. Kinerja seorang kepala sekolah harus dilihat pada komponen EMASLIM (Educator, Manager, Administrator, Supervisor, Leader, Innovator, Motivator).

Bahkan ranah Entrepreneurship juga harus menjadi garapan seorang kepala sekolah. Sejak dikembangkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di tahun 2000-an seorang kepala sekolah harus sanggup mengembangkan kegiatan produksi / jasa sekolah sebagai sumber belajar, harus mampu pula menjadi seorang pelaksana proyek bangunan untuk swakelola block grant di lingkungan sekolahnya, dan peran lainnya yang terkadang bisa menyebabkan munculnya anggapan bahwa seorang kepala sekolah sudah melakukan kesalahan dan penyimpangan karena tidak lazimnya ditemui pada dua dekade yang lalu.

Kini, perubahan tahap kedua berjalan satu bulan lebih sudah berlalu. Sejak 17 April 2007 Mendiknas mengeluarkan peraturan yang sangat penting menyangkut pengelolaan setiap lembaga pendidikan khususnya sekolah-sekolah di negeri ini. Ditengah berhembus kencangnya tudingan tentang rendahnya mutu pendidikan kita saat ini. Mendiknas RI dengan Peraturan Mendiknas Nomor 13 Tahun 2007 tertanggal 17 April 2007 menetapkan Standar Kepala Sekolah / Madrasah sebagai salah satu standar ketenagaan di antara delapan standar yang harus ditetapkan untuk mewujudkan Standar Nasional Pendidikan kita yang bermutu.

Untuk mendukung Standar Nasional Pendidikan kita menurut Permendiknas tersebut seseorang yang akan diangkat menjadi kepala sekolah wajib memenuhi standar kepala sekolah / madrasah yang berlaku nasional. Standar Kepala Sekolah dimaksud adalah sebagaimana tercantum pada lampiran peraturan menteri dimaksud, yang meliputi Standar Kualifikasi dan Standar Kompetensi.
Adapun standar kualifikasi yang dimaksud meliputi:

1) Kualifikasi Umum
(a) Pendidikan Minimum Sarjana (S-1) atau Diploma IV (dalam draft semula diutamakan S-2);
(b) Berusia setinggi-tingginya 56 tahun saat diangkat sebagai kepala sekolah;
(c) Pengalaman mengajar minimal 5 tahun menurut jenjang sekolahnya;
(d) Pangkat minimal III/c bagi PNS

2) Kualifikasi khusus menyangkut
(a) Berstatus sebagai guru sesuai jenjang mana akan menjadi kepala sekolah;
(b) Mempunyai sertifikat pendidik sebagai guru sesuai jenjangnya;
(c) Mempunyai sertifikat kepala sekolah sesuai jenjangnya yang diterbitkan oleh lembaga yang ditetapkan pemerintah
Berkenaan dengan Standar Kompetensi, seseorang dapat diangkat sebagai Kepala Sekolah jika dia memiliki kompetensi-kompetensi sebagai berikut :
(a) Kompetensi Kepribadian

(b) Kompetensi Manajerial

(c) Kompetensi Kewirausahaan

(d) Kompetensi Supervisi

(e) Kompetensi Sosial

Dilihat dari perspektif peningkatan mutu input pendidikan Permen ini merupakan suatu kemajuan positif dalam upaya mencari dan menetapkan figur pengelola sekolah yang bermutu. Namun dalam rangka profesionalisasi jabatan kepala sekolah menuju terwujudnya kepala sekolah yang mampu mengemban dan mengembangkan tugas dan fungsinya terlihat masih belum sepenuhnya akan dapat terwujud.

Jika Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 menyebutkan bahwa Tenaga Kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan, dan Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain sesuai kekhususannya, maka setiap Pendidik memang merupakan Tenaga Kependidikan, tetapi setiap Tenaga Kependidikan belum tentu seorang Pendidik / Guru. Kasubdit Pendidikan Menengah Ditjen PMPTK Depdiknas dalam suatu Seminar Nasional tentang Kepala Sekolah mengungkapkan pula tentang Kebijakan Direktorat Tenaga Kependidikan masa sekarang ini bahwa Tenaga Kependidikan itu meliputi Pengawas Sekolah, Kepala Sekolah, Pustakawan, Laboran, dan Tenaga Tata Laksana /Administrasi sekolah

Berarti seorang Kepala Sekolah walaupun dipersyaratkan harus berasal dari seorang guru namun setelah diangkat sebagai kepala sekolah maka yang bersangkutan sebaiknya tidak lagi berstatus Guru / Pendidik melainkan sebagai Tenaga Kependidikan / Kepala Sekolah Profesional dengan tugas dan fungsi yang sudah jelas memerlukan perhatian khusus layaknya profesi kependidikan lain seperti Pengawas Sekolah, Laboran, dan Pustakawan. Dalam beberapa kesempatan kegiatanpun saat ini seringkali seorang kepala sekolah tidak diperkenankan mengikuti kegiatan yang diperuntukan bagi guru.

Memperhatikan pasal-pasal pada Permendiknas Nomor 13 Tahun 2007 ternyata para Calon Kepala Sekolah dan Kepala Sekolah dihadapkan pada penafsiran ganda. Artinya kualifikasi dan kompetensi tersebut bisa diartikan sebagai syarat memasuki wilayah profesi kepala sekolah. Setelah yang bersangkutan diangkat sebagai kepala sekolah maka statusnya sebagai pendidik / guru menjadi lepas. Namun bisa pula ditafsirkan sebagai memperkuat status lama yakni "hanya" seorang guru yang diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah. Jika itu yang terjadi maka sebelah kakinya masih menginjakkan ke wilayah profesi guru, sebelah lagi menginjak profesi sebagai kepala sekolah.

Sebenarnya sah-sah saja ketika seorang kepala sekolah berharap bahwa dengan berlakunya Permendiknas Nomor 13 Tahun 2007 ini akan ada jalan yang lurus untuk mengembangkan profesi kekepalasekolahan sebagai suatu profesi "berdaulat" agar kinerja dan upaya peningkatannya semakin dapat dipacu lebih kencang lagi. Bukan menjadikan kita bersikap skeptis yang cenderung pessimis atas berlakunya Permendiknas terbaru tersebut. Namun jika statusnya "hanya" seorang guru yang diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah nampaknya akan ada hal-hal yang membatasi kesungguhan upaya meningkatkan kinerja tersebut. Irama kinerja kepala sekolahpun akan tetap diiringi lagu lama dengan judul "Anda Bukan Pejabat Struktural" atau "Jangan Kau Samakan Tunjanganmu Dengan Pejabat Eselon atau pejabat lain.

Permendiknas yang dinyatakan mulai berlaku tanggal 17 April 2007 tersebut juga tidak memberikan masa transisi sehingga rawan pelanggaran terhadap Permen tersebut. Dengan "wajib"nya dipenuhi standar kepala sekolah yang berlaku nasional tersebut dikaitkan dengan belum terlaksananya Uji Sertifikasi Guru dan pemberian sertifikatnya, maka tertutuplah pintu bagi Cakep (Calon Kepala Sekolah) yang sudah memiliki Sertifikat Diklat Cakep namun belum memiliki Sertifikat Pendidik sebagai Guru untuk diangkat sebagai Kepala Sekolah. Karena salah satu persyaratan untuk diangkat sebagai kepala sekolah yakni memiliki sertifikat pendidik sebagai guru belum terpenuhi. Jika Bupati / Walikota mengangkat Kepala Sekolah yang berasal dari guru yang belum disertifikasi maka hal itu bisa dianggap bertentangan dengan Permendiknas tentang Standar Kepala Sekolah ini.

Disisi lain penetapan Standar Kepala Sekolah ini memang sangat positif dimasa keterbukaan dengan akuntabilitas publik yang semakin baik sekarang ini. Permen ini tentu tidak berdiri sendiri sebagai satu piranti hukum dalam mengatur dan upaya meningkatkan mutu Standar Pendidikan Nasional kita. Ditjen PMPTK telah menyusun suatu pedoman tentang Pengembangan Mutu Kepala Sekolah untuk kedua jalur yakni dari rekruitment calon kepala sekolah dan jalur peningkatan mutu kepala sekolah yang sudah dan sedang menjabat.

Untuk bisa diangkat sebagai Kepala Sekolah seorang guru yang lulus seleksi harus mengikuti Sertifikasi melalui Diklat Cakep 900 jam yang diakhiri dengan Uji Kompetensi. Jika dinyatakan lulus sebagai Cakeppun masih harus melalui Uji Publik di hadapan beberapa unsur stake-holders dimana sekolah itu berada. Jika uji publik (semacam pemaparan visi dan misi lengkap dengan beberapa perencanaan) ini dapat dilalui barulah yang bersangkutan dapat diangkat dan ditempatkan di suatu sekolah sebagai kepala sekolah definitif. Sedangkan bagi kepala sekolah yang sedang menjabat, prosesi peningkatan mutu dilakukan dengan uji kompetensi.

3. GURU
Guru adalah pekerjaan yang mulia, pahlawan tanpa tanda jasa, patut di gugu dan ditiru. Apakah perubahan pengelolaan sistem pendidikan untuk saat ini
ungkapan diatas masih relevan? Dalam banyak berita di media masa guru adalah sebuah profesi. Sebuah sebutan yang sangat bergensi mungkin bisa disamakan dengan gengsinya seorang dokter, pengacara dan arsitek. Sebuah profesi belum tentu profesional, namun seorang yang profesional sudah pasti mereka memiliki profesi. Begitu juga dengan profesi sebagai seorang guru (pendidik). Mereka mempunyai dasar hukum yang jelas, kode etik yang pasti, berada dibawah naungan organisasi profesi. pendidik .
UU NO. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan tenaga pendidik adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan. Sedangkan sebutan Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan. Tentunya juga baik tenaga pendidik dan kependidikan pada pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan yang ada di negeri ini. Begitupun dalam bab XI, Pasal 39 ayat 2 disebutkan Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Masih dalam UU yang sama dalam pasal 42 ayat 1 disebutkan Pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Begitupual dalam pasal 43 ayat 2 tersurat Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi. Lebih lanjut pada ayat (3) Ketentuan mengenai promosi, penghargaan, dan sertifikasi pendidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Dalam pasal 61 ayat 1, 2 dan 3 disebutkan dengan jelas tentang : (1) Sertifikat berbentuk ijazah dan sertifikat kompetensi. (2) Ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi. (3) Sertifikat kompetensi diberikan oleh penyelenggara pendidikan dan lembaga pelatihan kepada peserta didik dan warga masyarakat sebagai pengakuan terhadap kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi.
Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 disebutkan bahwa Standar pendidik dan tenaga kependidikan adalah kriteria pendidikan prajabatan dan kelayakan fisik maupun mental, serta pendidikan dalam jabatan.Bagian Kesatu klausal Pendidik pasal 28 dalam PP ini disebutkan antara lain :
(1) Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
(2) Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tingkat pendidikan minimal yang harusdipenuhi oleh seorang pendidik yang dibuktikan dengan ijazah dan/atau sertifikat keahlian yang relevan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi:a. Kompetensi pedagogik; b. Kompetensi kepribadian; c. Kompetensi profesional; dan d. Kompetensi sosial. Dalam pasal disebutkan pula
(4) Seseorang yang tidak memiliki ijazah dan/atau sertifikat keahlian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetapi memiliki keahlian khusus yang diakui dan diperlukan dapat diangkat menjadi pendidik setelah melewati uji kelayakan dan kesetaraan. Dan
(5) Kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan (4) dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Pada pasal 29 lebih terinci lagi tentang apa yang harus dimiliki oleh pendidik seperti contoh untuk SMP dan SMA pada ayat (3) tersurat Pendidik pada SMP/MTs atau bentuk lain yang sederajat memiliki:
a. kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1)
b. latar belakang pendidikan tinggi dengan program pendidikan yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan; dan c. sertifikat profesi guru untuk SMP/MTs. Sedang pada ayat 4 disebutkan Pendidik pada SMA/MA, atau bentuk lain yang sederajat memiliki: a. kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1) b. latar belakang pendidikan tinggi dengan program pendidikan yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan; dan c. sertifikat profesi guru untuk SMA/MA. Pasal 30 ayat (4) Pendidik pada SMP/MTs atau bentuk lain yang sederajat dan SMA/MA, atau bentuk lain yang sederajat terdiri atas guru mata pelajaran yang penugasannya ditetapkan oleh masing-masing satuan pendidikan sesuai dengan keperluan. Karena Guru dalam pengertian umum dihasilkan oleh suatu LPTK maka terhadap kompetensi calon guru dalam pasal 89 ayat 5 Sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau oleh lembaga sertifikasi mandiri yang dibentuk oleh organisasi profesi yang diakui Pemerintah sebagai tanda bahwa peserta didik yang bersangkutan telah lulus uji kompetensi.
Peraturan menteri pendidikan nasional nomor 16 tahun 2007 tentang standar kualifikasi akademik dan kompetensi guru secara terperinci disebutkan sebagai berikut;
A.KUALIFIKASI AKADEMIK GURU
kesetaraan. Uji kelayakan dan kesetaraan bagi seseorang yang memiliki 1. Kualifikasi Akademik Guru Melalui Pendidikan Formal Kualifikasi akademik guru pada satuan pendidikan jalur formal mencakup kualifikasi akademik guru pendidikan Anak Usia Dini/ Taman Kanak-kanak/Raudatul Atfal (PAUD/TK/RA), guru sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah (SD/MI), guru sekolah menengah pertama/madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), guru sekolah menengah atas/madrasah aliyah (SMA/MA), guru sekolah dasar luar biasa/sekolah menengah luar biasa/sekolah menengah atas luar biasa (SDLB/SMPLB/SMALB), dan guru sekolah menengah kejuruan/madrasah aliyah kejuruan (SMK/MAK*), sebagai berikut;
a. Kualifikasi Akademik Guru PAUD/TK/RA Guru pada PAUD/TK/RA harus memiliki kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1) dalam bidang pendidikan anak usia dini atau psikologi yang diperoleh dari program studi yang terakreditasi.
b. Kualifikasi Akademik Guru SD/MI Guru pada SD/MI, atau bentuk lain yang sederajat, harus memiliki kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1) dalam bidang pendidikan SD/MI (D-IV/S1 PGSD/PGMI) atau psikologi yang diperoleh dari program studi yang terakreditasi.
c. Kualifikasi Akademik Guru SMP/MTs. Guru pada SMP/MTs, atau bentuk lain yang sederajat, harus memiliki kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1) program studi yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan/diampu, dan diperoleh dari program studi yang terakreditasi.
d. Kualifikasi Akademik Guru SMA/MA Guru pada SMA/MA, atau bentuk lain yang sederajat, harus memiliki kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1) program studi yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan/diampu, dan diperoleh dari program studi yang terakreditasi.
e. Kualifikasi Akademik Guru SDLB/SMPLB/SMALB Guru pada SDLB/SMPLB/SMALB, atau bentuk lain yang sederajat, harus memiliki kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1) program pendidikan khusus atau sarjana yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan/diampu, dan diperoleh dari program studi yang terakreditasi.
f. Kualifikasi Akademik Guru SMK/MAK* Guru pada SMK/MAK* atau bentuk lain yang sederajat, harus memiliki kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1) program studi yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan/diampu, dan diperoleh dari program studi yang terakreditasi. 2. Kualifikasi Akademik Guru Melalui Uji Kelayakan dan Kesetaraan Kualifikasi akademik yang dipersyaratkan untuk dapat diangkat sebagai guru dalam bidang-bidang khusus yang sangat diperlukan tetapi belum dikembangkan di perguruan tinggi dapat diperoleh melalui uji kelayakan dan keahlian tanpa ijazah dilakukan oleh perguruan tinggi yang diberi wewenang untuk melaksanakannya.
B. STANDAR KOMPETENSI GURU.
Kompetensi diartikan sebagai pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Arti lain dari kompetensi adalah spesifikasi dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dimiliki seseorang serta penerapannya di dalam pekerjaan, sesuai dengan standar kinerja yang dibutuhkan oleh lapangan.
Dengan demikian, kompetensi yang dimiliki oleh setiap guru akan menunjukkan kualitas guru yang sebenarnya. Kompetensi tersebut akan terwujud dalam bentuk penguasaan pengetahuan, keterampilan maupun sikap profesional dalam menjalankan fungsi sebagai guru.
Berdasarkan pengertian tersebut, Standar Kompetensi Guru adalah suatu pernyataan tentang kriteria yang dipersyaratkan, ditetapkan dan disepakati bersama dalam bentuk penguasaan pengetahuan, keterampilan dan sikap bagi seorang tenaga kependidikan sehingga layak diajarkan kepada siswa.
Standar kompetensi guru ini dikembangkan secara utuh dari empat kompetensi utama, yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Keempat kompetensi tersebut terintegrasi dalam kinerja guru. Standar kompetensi guru mencakup kompetensi inti guru yang dikembangkan menjadi kompetensi guru PAUD/TK/RA, guru kelas SD/MI, dan guru mata pelajaran pada SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK/MAK.
Berikut ini contoh secara khusus standar kompetensi seorang guru jika mengampu mata pelajaran Teknik Imformasi dan Komunikasi(TIK) harus mempunyai kompetensi inti guru mata pelajaran TIK pada setiap tingkatan baik SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK/MAK adalah :
1) Mengoperasikan komputer personal dan periferalnya;
2) Merakit, menginstalasi, mensetup, memelihara dan melacak serta memecahkan masalah (troubleshooting) pada komputer personal;
3) Melakukan pemrograman komputer dengan salah satu bahasa pemrograman berorientasi objek;
4) Mengolah kata ( word processing ) dengan komputer personal dan mengolah lembar kerja (spreadsheet) dan grafik dengan komputer personal;
5) Mengelola pangkalan data (data base) dengan komputer personal atau komputer server;
6) Membuat presentasi interaktif yang memenuhi kaidah komunikasi visual dan interpersonal;
7) membuat media grafis dengan menggunakan perangkat lunak publikasi; Membuat dan memelihara jaringan komputer (kabel dan nirkabel); 9)Membuat dan memelihara situs laman (web); Menggunakan sarana telekomunikasi (telephone, mobilephone, faximile ).
9) Membuat dan menggunakan media komunikasi, termasuk pemrosesan gambar, audio dan video.
10)Menggunakan teknologi informasi dan komunikasi dalam disiplin atau materi pembelajaran lain dan sebagai media komunikasi.
11)Mendesain dan mengelola lingkungan pembelajaran/sumber daya dengan memperhatikan standar kesehatan dan keselamatan.
12)Mengoperasikan perangkat keras dan perangkat lunak pendukung pembelajaran.
13)Memahami EULA (End User Licence Agreement) dan keterbatasan serta keluasan penggunaan perangkat lunak secara legal.

Rabu, 21 Oktober 2009

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

Menejemen berbasis sekolah atau School Base Management

Manajemen berbasis sekolah adalah kebebasan suatu sekolah atau lembaga pendidikan untuk mengelola sekolah tersebut dengan berpedoman dan tidak bertentangan dengan aturan dari dinas pendidikan nasional.
Ada beberapa alasan yang mendasari munculnya MBS anatara lain:
1. Lengsernya pemerintahan orde baru yang memunculkan era reformasi, pada era ini pemerintah pusat menyerah atau memberi wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengelola daerahnya secara mandiri atau yang lebih dikenal dengan otonomi daerah. Salah satu diantaranya kebebasan pemerintah daerah dalam mengelola lembaga pendidikan hal ini bertujuan untuk mempersamakan mutu pendidikan dengan daerah lain. Namun ada beberapa aspek yang pengelolaannya masih dibawah wewenang pemerintah pusat seperti bidang keuangan, keagamaan, hukum, pertahanan keamanan dan hubungan luar negeri.
2. Adanya perbedaan mutu lembaga pendidikan. Lemahnya suatu lembaga pendidikan akan berpengaruh pada kualitas anak didik yang dihasilkan. Karena alasan tersebut pemerintah pusat memeberikan kewenangan kepada setiap lembaga pendidikan untuk mengelola proses pendidikan semaksimal mungkin, selain itu hal ini juga akan memeberi motivasi kepada daerah lain untuk meningkatkan kualitas lembaga pedidikannya
3. Berkaitan dengan tanggung jawab lembaga pendidikan untuk menghasilkan pendidikan yang berkualitas tinggi, sesuai dengan tiga klarifikasi mutu,yaitu:
a. Tiada banding,tiada tanding
b. Bersifat relatif (sesuai dengan perkembangan zaman)
c. Berdasarkan pada kepuasan pelanggan.

Dalam perjalananya sistem ini tidak semulus yang direncanakan. Hal ini dikarenakan sistim birokrasi suatu daerah terlalu berbelit-belit, sehingga sistem ini berjalan dengan sangat lamban.Ada beberapa hal yang mesti diperhatikan dan harus dibenahi agar sistem ini berjalan dengan lancar,antara lain :
1. Sistem ini membutuhkan kepemimpinan yang kuat, mampu mempengaruhi bawahan secara baik atau paksaan.
2. Dibutuhkan sikap yang transparan antar peminpin dengan anggotanya , namun tetap berpatokan pada norma yang ada.
3. Memiliki cita – cita atau harapan untuk melakukan perubahan yang lebih baik dari setiap instansi.
4. Memiliki kemauan dan kemampuan untuk mengembangkann mutu pendidikan dari lingkungan lembaga pendidikan.
5. Adanya konsep pemikiran /persepsi yang sama dalam lingkungan sekolah.
6. Adanya partisipasi masyarakat atau orang tua siswa .
7. Lingkungan sekolah yang kondusif.
8. Mampu bersifat otonom dengan melihat segala resiko dan kesempatan yang mungkin dihadapi.

BERSAMBUNG.....

Paradigma pendidikan nasional

Paradigma pendidikan nasional

Setelah lengsernya pemerintahan Suharto sekaligus berakhirnya masa orde baru melahirkan era reformasi. Banyak perubahan yang terjadi dinegeri ini mulai dari reformasi birokrasi,demokrasi, ketatanegaran sampai ketingkat pendidikan nasional. Banyak perubahan yang terjadi dalam system pendidikan kita , hal ini bertujuan untuk membentuk sumber daya manusia yang mampu bersaing dalam secara globalisasi.
Perubahan tersebut diawali dengan disahkan Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 yang terdiri dari 22 Bab dan 77 pasal. Undang – undang ini disahkan pada tanggal 11 juni 2003 oleh presiden bersama dengan DPR, undang – undang ini dimaksudkan untuk mengganti undang - undang yang lama, yaitu Undang-undang Sisdiknas Nomor 2 Tahun 1989. . Perubahan mendasar yang dicanangkan dalam Undang-undang Sisdiknas yang baru tersebut antara lain adalah demokratisasi dan desentralisasi pendidikan, peran serta masyarakat, tantangan globalisasi, kesetaraan dan keseimbangan, jalur pendidikan, dan peserta didik.

Desentralisasi dan sentralisasi pendidikan (otonomi daerah) merupakan salah satu perubahan yang lahir pada era reformasi, hal ini bertujuan untuk membentuk demokratisasi, yang mengarah pada dua hal yakni pemberdayaan masyarakat dan pemberdayaan pemerintah daerah (otda). Hal ini berarti peranan pemerintah akan dikurangi dan memperbesar partisipasi masyarakat. Demikian juga perana pemerintah pusat yang bersifat sentralistis dan yang telah berlangsung selama 50 tahun lebih, akan diperkecil dengan memberikan peranan yang lebih besar kepada pemerintah daerah yang dikenal dengan sistem desentralisasi. Kedua hal ini harus berjalan secara simultan; inilah yang merupakan paradigma baru, yang menggantikan paradigma lama yang sentralistis.
Konsep demokratisasi dalam pengelolaan pendidikan yang dituangkan dalam UU Sisdiknas 2003 bab III tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan. disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan , nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Karena pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat., serta dengan memberdayakan semua komponen masyarakat, melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
Pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan bermutu bagi warga negara tanpa diskriminasi. Konsekwensinya pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia 7- 15 tahun . Itulah sebabnya pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar, minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa dipungut biaya, karena wajib belajar adalah tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh pemerintah (pusat), pemerintah daerah, dan masyarakat. Dengan adanya desentralisai penyelenggaraan pendidikan dan pemberdayaan masyarakat, maka pendanaan pendidikan menjadi tanggungjawab bersama antara pemerintah (pusat), pemerintah daerah, dan masyarakat Bahkan, pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah bertanggungjawab menyediakan anggaran pendidikan. Undang Undang Dasar Negara RI tahun 1945 – (”Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya duapuluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”) – (pasal 46 ayat 2). Itulah sebabnya dana pendidikan, Selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan, harus dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan, dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah (APBD) (pasal 49 ayat 1). Khusus gaji guru dan dosen yang diangkat oleh pemerintah (pusat) dialokasikan dalam APBN (pasal 49 ayat 2).
Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan . Dalam memenuhi tuntutan-tuntutan tersebut maka pemerintah (pusat), pemerintah daerah, dan masyarakat mengerahkan sumber daya yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku . Oleh karena itu maka pengelolaan dan pendidikan harus berdasarkan prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik (pasal 48 ayat 2). Meskipun terjadi desentralisasi pengelolaan pendidikan, namun tanggungjawab pengelolaan sistem pendidikan nasional tetap berada di tangan menteri yang diberi tugas oleh presiden (pasal 50 ayat 1), yaitu menteri pendidikan nasional. Dalam hal ini pemerintah (pusat) menentukan kebijakan nasional dan standard nasional pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan nasional (pasal 50 ayat 2). Sedangka pemerintah provinsi melakukan koordinasi atas penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan, dan penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas daerah kabupaten/kota untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah. Khusus untuk pemerintah kabupaten/kota diberi tugas untuk mengelola pendidikan dasar dan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal.
Satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal, merupakan paradigma baru pendidikan, untuk mendorong percepatan pembangunan di daerah berdasarkan potensi yang dimiliki oleh masyarakat lokal. Dalam hal ini pewilayahan komoditas harus dibarengi dengan lokalisasi pendidikan dengan basis keunggulan lokal. Hak ini bukan saja berkaitan dengan kurikulum yang memperhatikan juga muatan lokal (pasal 37 ayat 1 huruf j), melainkan lebih memperjelas spesialisasi peserta didik, untuk segera memasuki dunia kerja di lingkungan terdekatnya, dan juga untuk menjadi ahli dalam bidang tersebut.
Dengan demikian persoalan penyediaan tenaga kerja dengan mudah teratasi dan bahkan dapat tercipta secara otomatis. Selain itu pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib menyelenggarakan sekurangkurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikanm yang bertaraf internasional (pasal 50 ayat 3). Hal ini dimaksudkan agar selain mengembangkan keunggulan lokal melalui penyediaan tenaga-tenaga terdidik, juga menyikapi perlunya tersedia satuan pendidikan yang dapat menghasilkan lulusan kaliber dunia di Indonesia.
Untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang berkualitas, maka pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan dengan pendidik dan tenaga kependidikan yang diperlukan (pasal 42 ayat 2). Dalam hal ini termasuk memfasilitasi dan/atau menyediakan pendidik dan/atau guru yang seagama dengan peserta didik dan pendidik dan/atau guru untuk mengembangkan bakat, minat dan kemampuan peserta didik (pasa 12 ayat 1 huruf a dan b). Pendidik dan tenaga kependidikan dapat bekerja secara lintas daerah, yang pengangkatan, penempatan dan penyebarannya diatur oleh lembaga yang mengangkatnya berdasarkan kebutuhan satuan pendidikan formal (pasal 41 ayat 1 dan 2)). Selain itu pemerintah (pusat) atau pemerintah daerah memiliki kewenangan mengeluarkan dan mencabut izin bagi semua satuan pendidikan formal maupun non formal (pasal 62 ayat 1), sesuai dengan lingkup tugas masing-masing. Dengan adanya desentralisasi perizinan akan semakin mendekatkan pelayanan klepada rakyat, sesuai dengan tujuan otonomi pemerintahan daerah.

Pendidikan tidakk dapt berjalan tanpa adanya dukungan dan peran serta masyarakat atau rakyat Indonesia.Demokratisasi penyelenggaraan pendidikan, harus mendorong pemberdayaan masyarakat dengan memperluas partisipasi masyarakat dalam pendidikan yang meliputi peran serta perorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan (pasal 54 ayat 1). Masyarakat tersebut dapat berperanan sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan (pasal 54 ayat 2). Oleh karena itu masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan yang berbasis masyarakat, dengan mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standard nasional pendidikan (pasal 55 ayat 1 dan 2). Dana pendidikan yang berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, pemerintah (pusat), pemerintah daerah dan/atau sumber lain (pasal 55 ayat 3). Demikian juga lembaga pendidikan yang berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah.
Partisipasi masyarakat tersebut kemudian dilembagakan dalam bentuk dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah. Dewan pendidikan adalah lembaga mandiri yang beranggotakan berbagai unsur masyarakat yang peduli terhadap pendidikan. Sedangkan komite sekolah/madrasah adalah lembaga mandiri yang terdiri dari unsur orang tua/wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan (pasal 1 butir 24 dan 25). Dewan pendidikan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan, dengan memberikan pertimbangan, arahan, dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota yang tidak mempunyai hubungan hirarkis (pasal 56 ayat 2). Sedangkan peningkatan mutu pelayanan di tingkat satuan pendidikan peran-peran tersebut menjadi tanggungjawab komite sekolah/madrasah (pasal 56 ayat 3)
Seperti yang dijelaskan diatas ,salah satu tujuan dari reformasi pendidikan adalah untuk menghadapi tantangan globalisasi yang sedang melanda dunia, maka sebagaimana dijelaskan di muka, harus ada minimal satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan yang dapat dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional, baik oleh pemerintah (pusat) maupun pemerintah daerah (pasal 50 ayat 3). Untuk itu perlu dibentuk suatu badan hukum pendidikan, sehingga semua penyelenggara pendidikan dan/atau satuan pendidikan formal, baik yang didirikan oleh pemerintah maupun masyarakat, harus berbentuk badan hukum pendidikan (pasal 53 ayat 1). Badan hukum pendidikan yang dimaksud akan berfungsi memberikan pelayanan kepada peserta didik (pasal 53 ayat 2). Badan hukum pendidikan yang akan diatur dengan undang-undang tersendiri (pasal 53 ayat 4) itu, harus berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan (pasal 53 ayat 3).
Dengan adanya badan hukum pendidikan itu, maka dana dari masyarakat dan bantuan asing dapat diserap dan dikelola secara profesional, transparan dan akuntabilitas publiknya dapat dijamin. Dengan demikian badan hukum pendidikan akan memberikan landasan hukum yang kuat kepada penyelenggaraan pendidikan dan/atau satuan pendidikan nasional yang bertaraf internasional dalam menghadapi persaingan global. Selain itu diperlukan pula lembaga akreditasi dan sertifikasi. Akreditasi dilakukan untuk menentukan kelayakan program dan satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan non formal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan (pasal 60 ayat 1), yang dilakukan oleh pemerintah (pusat) dan/atau lembaga mandiri yang berwenang sebagai bentuk akuntabilitas publik (pasal 60 ayat 2). Akreditasi dilakukan atas kriteria yang bersifat terbuka (pasal 60 ayat 3), sehingga semua pihak, terutama penyelenggara dapat mengetahui posisi satuan pendidikannya secara transparan.
Dalam menghadapi globalisasi, maka penyerapan tenaga kerja akan ditentukan oleh kompetensi yang dibuktikan oleh sertifikat kompetensi, yang diberikan oleh penyelenggara satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi kepada peserta didik dan masyarakat yang dinyatakan lulus setelah mengikuti uji kompetensi tertentu (pasal 61 ayat 3). Dalam mengantisipasi perkembangan global dan kemajuan teknologi komunikasi, maka pendidikan jarak jauh diakomodasikan dalam sisdiknas, sebagai paradigma baru pendidikan. Pendidikan jarak jauh tersebut dapat diselenggarakan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan, yang berfungsi untuk memberi layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler (pasal 31 ayat 1 dan 2).

Seperti salah satu cita – cita bangsa Indonesia yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945, yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur., maka pendidikan tidak lagi terpusat pada satu lembaga pendidikan. Hal ini bertujuan untuk membentuk kesetaraan dan kesetimbangan sesuai dengan sisdiknas yang baru. Konsep kesetaraan ialah antara satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat. Tidak ada lagi istilah satuan pendidikan “plat merah” atau “plat kuning”; semuanya berhak memperoleh dana dari negara dalam suatu sistem yang terpadu. Demikian juga adanya kesetaraan antara satuan pendidikan yang dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional dengan satuan pendidikan yang dikelola oleh Departemen Agama yang memiliki ciri khas tertentu. Itulah sebabnya dalam semua jenjang pendidikan disebutkan mengenai nama pendidikan yang diselenggarakan oleh Departemen Agama (madrasah, dst.). Dengan demikian UU Sisdiknas telah menempatkan pendidikan sebagai satu kesatuan yang sistemik (pasal 4 ayat 2).
Selain itu UU Sisdiknas yang dijabarkan dari UUD 45, telah memberikan keseimbangan antara peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini tergambar dalam fungsi dan tujuan pendidikan nasional, yaitu bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, serta berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab (pasal 3). Dengan demikian UU Sisdiknas yang baru telah memberikan keseimbangan antara iman, ilmu dan amal (shaleh). Hal itu selain tercermin dari fungsi dan tujuan pendidikan nasional, juga dalam penyusunan kurikulum (pasal 36 ayat 3) , dimana peningkatan iman dan takwa, akhlak mulia, kecerdasan, ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan sebagainya dipadukan menjadi satu.

Untuk pemerataan pendidikan secara nasional ada beberapa jalur pendidikan yang bias ditempuh. Setelah reformasi terjadi sedikit perubahan jalur pendidikan dari 2 jalur (masa orde baru) : sekolah dan luar sekolah menjadi 3 jalur( era reformasi): formal, nonformal, dan informal – (pasal 13) juga merupakan perubahan mendasar dalam Sisdiknas. Dalam Sisdiknas yang lama pendidikan informal (keluarga) tersebut sebenarnya juga telah diberlakukan, namun termasuk dalam jalur pendidikan luar sekolah, dan ketentuan penyelenggaraannyapun tidak konkrit. Jalur formal terdiri dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi (pasal 14), dengan jenis pendidikan: umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus (pasal 15). Pendidikan formal dapat diwujudkan dalam bentuk satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah (pusat), pemerintah daerah dan masyarakat (pasal 16).
Pendidikan dasar yang merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat, serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (Mts) atau bentuk lain yang sederajad (pasal 17 ayat 1 dan 2). Dengan demikian istilah SLTP harus berganti kembali menjadi SMP. Sebelum memasuki jenjang pendidikan dasar, bagi anak usia 0-6 tahun diselenggarakan pendidikan anak usia dini, tetapi bukan merupakan prasyarat untuk mengikuti pendidikan dasar (pasal 28 dan penjelasannya). Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur formal (TK, raudatul athfal, dan bentuk lain yang sejenis), nonformal (kelompok bermain, taman/panti penitipan anak) dan/atau informal (pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan).
Pendidikan menengah yang merupakan kelanjutan pendidikan dasar terdiri atas pendidikan umum dan pendidikan kejuruan, serta berbentuk sekolah menengah atas (SMA) , madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah kejuruan (MAK) atau bentuk lain yang sederajad (pasal 18). Sebagaimana istilah SLTP, maka sebutan SLTA berganti lagi menjadi SMA. Pendidikan tinggi yang merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah, mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, dan doktor, yang diselenggarakan dengan sistem terbuka (pasal 19 ayat 1-3). Perguruan tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut atau universitas, yang berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat, dan dapat menyelenggarakan program akademik, profesi dan/atau vokasi (pasal 20 ayat 1- 3).
Perguruan tinggi juga dapat memberikan gelar akademik, profesi atau vokasi sesuai dengan program pendidikan yang diselenggarakan (pasal 21 ayat 1). Bagi perguruan tinggi yang memiliki program doktor berhak memberikan gelar doktor kehormatan (doktor honoris causa) kepada individu yang layak memperoleh penghargaan berkenaan dengan jasa-jasa yang luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, kemasyarakatan, keagamaan, kebudayaan, atau seni (pasal 22). Selain itu masalah yang cukup aktual dan meresahkan masyarakat, seperti pemberian gelar-gelar instan, pembuatan skripsi atau tesis palsu, ijazah palsu dan lain-lain, telah diatur dan diancam sebagai tindak pidana dengan sanksi yang juga telah ditetapkan dalam UU Sisdiknas yang baru (Bab XX Ketentuan Pidana, pasal 67-71).
Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat, dan berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional (pasal 26 ayat 1 dan 2). Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik (pasal 26 ayat 3). Satuan pendidikan nonformal meliputi lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM), dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah dengan mengacu pada standard nasional pendidikan (pasal 26 ayat 6). Sedangkan pendidikan informal adalah kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri, yang hasilnya diakui sama dengan pendidikan formal dan non formal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan (pasal 27).
Tujuan pendidikan nasional akan tercapai apabila adanya kerjasama yang solid antara pemerintah pusat , pemerintah daerah dan rakyat Indonesia serta didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai.

dikutip dari http://erik12127.wordpress.com